Mantan Ketua MPR Bambang Soesatyo Dorong Reformasi Hukum Nasional Melalui Penyederhanaan dan Omnibus Law
Obesitas Regulasi, Ancaman Serius bagi Sistem Hukum Indonesia
JAKARTA, PARLE.CO.ID — Anggota DPR sekaligus Dosen Program Doktor Ilmu Hukum di berbagai universitas ternama, Bambang Soesatyo, menyoroti persoalan serius dalam sistem hukum nasional, yakni obesitas regulasi. Menurutnya, kompleksitas hukum yang muncul dari tumpang tindih peraturan, desentralisasi pembentukan regulasi, serta lemahnya koordinasi antar instansi telah menurunkan efisiensi layanan publik dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Dalam perkuliahan mata kuliah “Pembaharuan Hukum Nasional” di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Sabtu (12/4/2025), Bamsoet mengungkapkan bahwa jumlah regulasi aktif di Indonesia telah mencapai lebih dari 43.800 aturan. Di antaranya, terdapat 8.684 Peraturan Menteri dan 15.982 Peraturan Daerah—dua jenis regulasi yang menyumbang tumpang tindih terbanyak.
Dampak Obesitas Regulasi: Investasi Tersendat, Birokrasi Kian Ruwet
Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa tumpang tindih dan konflik antar regulasi menciptakan ketidakpastian hukum yang pada akhirnya membuat para investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Pelayanan publik pun terdampak karena birokrasi yang tidak efisien dan lambannya respons pemerintah terhadap persoalan masyarakat.
“Ketidakpastian regulasi yang kompleks berdampak besar terhadap dunia usaha dan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa banyaknya lembaga yang berwenang menyusun regulasi turut menciptakan duplikasi kebijakan yang membingungkan dan kontraproduktif.
Solusi: Omnibus Law dan Lembaga Sentral Pengelola Regulasi
Untuk mengatasi obesitas regulasi, Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan KADIN Indonesia ini mendorong reformasi hukum yang menyeluruh. Salah satu langkah konkret yang sudah diambil pemerintah adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja atau dikenal dengan konsep omnibus law.
“UU Cipta Kerja adalah upaya besar untuk memangkas regulasi yang tidak efisien, menyederhanakan perizinan, dan memperkuat ekosistem investasi. Namun, tantangan implementasi pada level peraturan turunan seperti PP, Perpres, dan Permen masih harus dibenahi,” tegasnya.
Ia juga mendorong pembentukan lembaga tunggal (single centered body) di bawah presiden yang bertanggung jawab terhadap penyusunan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional. Langkah ini diyakini bisa menjamin integrasi regulasi yang efisien dan konsisten.
Evaluasi dan Koordinasi Menjadi Kunci Reformasi
Menurut Bamsoet, langkah awal dari pembenahan hukum nasional adalah dengan melakukan evaluasi berkala terhadap seluruh regulasi yang berlaku. Regulasi yang dianggap usang, tumpang tindih, atau tidak relevan perlu dicabut atau direvisi. Selain itu, penting untuk melibatkan masyarakat dalam proses legislasi agar regulasi yang dihasilkan benar-benar sesuai kebutuhan publik.
Ia menegaskan, “Koordinasi antarkementerian dan lembaga harus diperkuat agar tidak terjadi tumpang tindih. Dengan begitu, sistem hukum kita akan menjadi lebih ramping, adaptif, dan pro pembangunan.”
Sebagai akademisi di Universitas Pertahanan, Universitas Borobudur, dan Universitas Jayabaya, Bamsoet menyimpulkan bahwa reformasi regulasi bukan hanya keharusan hukum, tapi juga kebutuhan strategis bagi pembangunan nasional. (P-01)