JAKARTA, PARLE.CO.ID — DPR mengusulkan perubahan Undang-Undang (UU) Penyiaran yang bakal melarang jurnalisme investigatif dan konten LGBT, yang memicu kritik dari masyarakat atas pembatasan kebebasan pers dan ekspresi kreatif. Perubahan terhadap UU Penyiaran Tahun 2002 pertama kali dibahas pada 2020. Namun rincian revisi terbarunya telah menimbulkan kekhawatiran, bahkan Dewan Pers mengatakan bahwa UU tersebut akan merusak independensi media.
“Dampaknya terhadap kebebasan pers sangat serius,” kata Arif Zulkifli, Kepala Divisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers DI jAKARTA, YANG DIKUTIP DARI REUTERS, rABU (22/5/2024). Karena, jelasnya, UU Pers menyatakan tidak boleh ada sensor atau pelarangan jurnalisme. “Jadi ini bertentangan,” tegasnya.
Di pihak pemerintah yang diwakili Menkominfo Budi Arie Setiadi mengaku belum menerima draf perubahan UU tersebut. Bahkan ditekankan revisi tidak boleh memberangus kebebasan media.
Rencana pembatasan jurnalisme investigatif dinilai banyak pihak merugikan kebebasan berekspresi dan kebebasan yang telah diperoleh dengan susah payah pasca-Reformasi 1998. RUU tersebut tidak memberikan rincian mengenai usulan pelarangan pemberitaan investigatif dan cara kerjanya, namun kelompok jurnalis mengkhawatirkan adanya sensor.
“Ini berarti kita sebagai jurnalis tidak lagi bisa mengungkap berita penting, seperti korupsi, nepotisme, dan kejahatan lingkungan hidup,” kata Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bayu Wardhana, menyoal rencana perubahan UU Penyiaran tersebut.
“Jika RUU ini diterapkan, tidak akan ada independensi pers,” tambah Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, yang mengaku pihaknya belum diajak berkonsultasi selama proses penyusunan RUU tersebut.
RUU ini juga menuai kritik karena berupaya melarang konten yang menampilkan kekerasan, mistisisme, LGBT atau “perilaku atau gaya hidup negatif yang berpotensi merugikan masyarakat”. Pembuat film terkemuka Joko Anwar mengecam usulan tersebut, dan menggambarkannya sebagai “berbahaya” dan “tidak mungkin” untuk dilaksanakan.
“Larangan terhadap konten semacam itu tidak hanya menghambat kreativitas industri kreatif dan kebebasan pers, namun juga melemahkan kapasitas masyarakat dalam memfilter apa yang mereka tonton,” ujarnya.
Namun anggota Komisi X DPR Nico Siahaan menekankan revisi atau perubahan UU Penyiaran tersebut masih dalam tahap awal, dan dapat berubah sewaktu-waktu. “Kami tidak ingin memberikan kesan bahwa kami homofobik, dan melakukan pengawasan secara berlebihan,” kata Nico Siahaan. (P-01/Reuters)