JAKARTA, PARLE.CO.ID — Ketua MPR periode 2019-2024, Bambang Soesatyo menyambut apresiasi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terhadap Pimpinan MPR 2019-2024 dan Presiden Prabowo Subianto atas pencabutan Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967. Langkah ini dianggap penting dalam memulihkan nama baik Presiden RI pertama, Soekarno, seperti disampaikan dalam perayaan HUT ke-52 PDIP pada Jumat (10/1/2025).
Sebelumnya, berdasarkan hasil Rapat Pimpinan MPR RI tanggal 23 Agustus 2024 dan Keputusan Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR RI pada 25 September 2024, telah ditegaskan bahwa sesuai Pasal 6 Tap Nomor I/MPR/2003, Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, tuduhan pengkhianatan terhadap Soekarno otomatis gugur demi hukum.
Rekonsiliasi Sejarah untuk Narasi yang Lebih Adil
“Pencabutan Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 bukan hanya memulihkan nama baik Soekarno, tetapi juga membangun kembali narasi sejarah Indonesia yang lebih adil,” ujar Bamsoet di Jakarta, Sabtu (11/1/2025).
Menurut Ketua DPR ke-20 ini, keputusan tersebut menjadi bagian dari rekonsiliasi sejarah, mengingat peran Soekarno sebagai Bapak Proklamasi dan penggerak utama kemerdekaan Indonesia. Pengakuan terhadap kontribusi Soekarno sangat penting untuk membantu generasi muda memahami sejarah bangsanya secara objektif.
Penguatan Identitas Nasional Melalui Pemulihan Sejarah
Bamsoet menambahkan, pencabutan Tap MPRS ini juga memperkuat identitas nasional. “Dengan melihat kembali sosok Bung Karno tanpa bias tuduhan, kita memperkuat kesadaran sejarah bangsa dan menginspirasi generasi muda untuk menjunjung nilai-nilai perjuangan Soekarno,” tegasnya.
Langkah ini dinilai penting untuk menciptakan kesadaran bahwa sejarah bangsa bukan hanya soal kejayaan, tetapi juga pelajaran berharga yang harus diterima secara kritis dan adil.
Tindakan Bersejarah: Pencabutan TAP MPR Lainnya
Selain memulihkan nama baik Soekarno, MPR periode 2019-2024 juga mengambil langkah berani dengan mencabut Tap MPR Nomor 11/MPR/1998 terkait Soeharto dan Tap MPR Nomor II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Bamsoet menjelaskan bahwa keputusan ini diambil karena Soeharto telah meninggal dunia, sehingga Tap tersebut dinyatakan selesai. Sedangkan Tap terkait Gus Dur dianggap tidak relevan lagi dalam konteks hukum saat ini. Lebih dari itu, MPR juga mengusulkan agar Soeharto dan Gus Dur diberikan gelar Pahlawan Nasional sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa mereka bagi bangsa.
MPR Sebagai Rumah Kebangsaan
Langkah-langkah besar ini, menurut Bamsoet, mencerminkan peran MPR sebagai rumah kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan. “MPR adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sudah sepantasnya MPR merajut persatuan bangsa melalui rekonsiliasi sejarah dan penghargaan terhadap nilai-nilai persatuan,” tutup Bamsoet.
Keputusan ini tidak hanya menandai pencapaian signifikan dalam upaya rekonsiliasi nasional tetapi juga menjadi langkah strategis dalam membangun bangsa yang lebih solid dan berkeadilan. (P-01)