Dosen tetap Pascasarjana Universitas Pertahanan (Unhan) Bambang Soesatyo (DOKUMEN BAMSOET)

Mengatasi Konflik Sosial di Indonesia melalui Pendekatan Damai dan Dialog Inklusif

Komentar
X
Bagikan

JAKARTA, PARLE.CO.ID — Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), sekaligus anggota Komisi III DPR dan dosen tetap Pascasarjana Universitas Pertahanan (Unhan), Bambang Soesatyo, menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keberagaman budaya, etnis, dan agama yang luar biasa, menghadapi tantangan kompleks dalam dinamika politik dan sosial. Konflik antar kelompok etnis dan agama, serta ancaman radikalisme dan ekstremisme, merupakan beberapa tantangan utama yang harus dihadapi bangsa ini.

Sebagai Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang menekankan pentingnya pendekatan damai dalam penyelesaian konflik. Menurutnya, model resolusi konflik yang berfokus pada perdamaian bukan hanya bertujuan menyelesaikan masalah secara jangka pendek, tetapi juga membangun hubungan sosial yang harmonis antara pihak-pihak yang terlibat.

“Contoh nyata pendekatan ini adalah dialog antara pemerintah dan masyarakat sipil di wilayah-wilayah rawan konflik, seperti Papua dan Aceh. Dialog tersebut bertujuan menciptakan saling pengertian dan rasa hormat yang dapat menurunkan ketegangan sosial,” ujar Bamsoet saat memberikan kuliah bertajuk “Politik Indonesia dan Tantangannya, Dalam Perspektif Damai Resolusi Konflik” secara daring di Universitas Pertahanan, Jakarta, Jumat (29/11/2024).

Contoh Sukses Resolusi Konflik
Bamsoet, yang pernah menjabat sebagai Ketua MPR ke-15 dan Ketua DPR ke-20, menjelaskan bahwa keberhasilan proses damai di Aceh menjadi contoh nyata. Konflik bersenjata selama hampir 30 tahun antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia akhirnya berakhir melalui MoU Helsinki pada 2005. Pendekatan ini mencakup dialog inklusif dan upaya pembangunan ekonomi serta pendidikan, yang berkontribusi pada stabilitas di wilayah tersebut.

“Program mediasi Komnas HAM pasca-perdamaian di Aceh juga membuktikan efektivitas pendekatan ini. Dengan menciptakan forum komunikasi yang melibatkan mantan kombatan dan masyarakat sipil, tingkat kekerasan di Aceh menurun hingga 80%. Aceh kini menjadi model sukses resolusi konflik berbasis dialog damai,” ujarnya.

Tantangan Politik Identitas
Bamsoet juga menyoroti isu politik identitas yang semakin mengemuka. Dalam beberapa tahun terakhir, politik berbasis etnis dan agama telah memicu polarisasi di masyarakat. Salah satu contohnya adalah pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, di mana perbedaan agama antara kandidat menjadi isu utama.

Menurut Bamsoet, tantangan politik identitas membutuhkan respons yang serius dari pemerintah dan masyarakat. “Ruang dialog dan rekonsiliasi harus diperluas. Selain itu, pendidikan toleransi dan perdamaian perlu menjadi bagian kurikulum sejak dini agar generasi muda lebih inklusif dan mendukung keberagaman,” jelasnya.

Pendidikan Perdamaian untuk Masa Depan
Bamsoet mengutip data dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menunjukkan bahwa generasi muda yang mendapatkan pendidikan tentang toleransi cenderung lebih aktif dalam aktivitas sosial yang inklusif dan damai. Hal ini menjadi landasan penting untuk memastikan generasi penerus bangsa dapat mengelola keberagaman dengan bijak.

“Dengan memperkuat pendidikan perdamaian dan meningkatkan kesadaran toleransi di tengah masyarakat, Indonesia dapat mengelola keberagaman sebagai kekuatan, bukan sumber konflik,” tutupnya.

Bamsoet menggambarkan pentingnya resolusi konflik yang damai dan dialog inklusif dalam menjaga stabilitas sosial dan politik Indonesia, dengan menempatkan pendidikan sebagai kunci menciptakan masyarakat yang harmonis di tengah keberagaman. (P-01)

 

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *