Rabu, 21 Mei, 2025
spot_img
More

    Berita Terkini

    Ketika Palu Keadilan Diperjualbelikan: Membongkar Skandal Suap Hakim dalam Kasus CPO

    Zidan Adam. (Ist)

    Oleh: Zidan Adam S.I.Kom. (Redaktur Pelaksana Parle.co.id)

    DI SEBUAH ruang sidang megah, tempat keadilan seharusnya ditegakkan tanpa cela, empat sosok yang dulu disegani kini berdiri dalam sorotan tajam publik. Bukan sebagai hakim yang menimbang perkara, melainkan sebagai tersangka dalam kasus yang mengguncang sendi-sendi sistem hukum Indonesia. Mereka bukan terdakwa biasa—mereka adalah penjaga gerbang keadilan, para hakim yang selama ini diandalkan untuk menegakkan moral konstitusi.

    Namun kini, moral itu retak. Adalah Muhammad Arif Nuryanta, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, bersama tiga koleganya—Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtaro—yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Tuduhan terhadap mereka bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan dugaan suap dengan nilai mencengangkan: Rp60 miliar, untuk sebuah vonis bebas dalam kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

    Kasus ini lebih dari sekadar kriminalitas. Ia adalah drama tragis tentang keadilan yang tergadaikan, dan tentang luka menganga dalam sistem peradilan Indonesia yang selama ini kita yakini sebagai benteng terakhir harapan rakyat.

    Jual Beli Vonis: Ketika Hukum Menjadi Komoditas

    Menurut hasil penyelidikan Kejaksaan, segalanya bermula dari sebuah sambungan telepon. Ariyanto Bakri, pengacara salah satu terdakwa dalam kasus korupsi ekspor CPO, menghubungi Wahyu Gunawan, seorang panitera muda di PN Jakarta Utara. Permintaannya sederhana namun mengejutkan: “atur agar terdakwa dibebaskan.”

    Dari sana, pesan itu mengalir ke Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Lalu, disepakatilah sebuah angka: Rp60 miliar. Jumlah yang cukup untuk membungkam nurani, untuk membeli keadilan yang seharusnya tak ternilai.

    Dana suap itu, menurut penyidik, disalurkan dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar Rp4,5 miliar, diberikan dalam bentuk dolar AS dan disebut sebagai “uang membaca berkas.” Tahap kedua lebih besar: Rp18 miliar. Dana ini diduga dibagi rata—Djuyamto mendapat Rp6 miliar, Agam Syarif menerima Rp4,5 miliar, dan Ali Muhtaro kebagian Rp5 miliar.

    Dan seolah mengikuti naskah yang telah disusun rapi, pada 19 Maret 2025, vonis onslag—bebas dari segala tuntutan hukum—dijatuhkan kepada terdakwa.

    Aib Besar bagi Negara

    Tak butuh waktu lama bagi kabar ini untuk menyulut amarah publik dan Parlemen. Salah satu suara keras datang dari Komisi III DPR RI. Aboe Bakar Al Habsyi, politisi dari Fraksi PKS, menyebut skandal ini sebagai “tamparan keras bagi integritas peradilan.”

    “Mafia peradilan adalah ancaman nyata. Bila negara kalah oleh mereka, itu adalah aib besar,” tegas pria yang akrab disapa Habib Aboe, yang juga menyerukan kepada Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk tak tinggal diam. “Ini bukan hanya soal empat orang hakim. Ini soal kepercayaan rakyat terhadap seluruh sistem hukum kita.”

    Harapan yang Pudar di Ruang Sidang

    Bagi masyarakat, sidang pengadilan adalah panggung terakhir tempat mereka menggantungkan harapan—harap bahwa kebenaran akan ditemukan, keadilan akan ditegakkan. Tapi apa jadinya jika hakim, simbol tertinggi dari keadilan itu sendiri, justru memperjualbelikan putusannya?

    Kasus ini menyampaikan pesan yang getir: bahwa dalam sistem yang sakit, keadilan bisa dinegosiasikan. Bahwa suara yang tak terdengar bisa dibungkam oleh gemerincing uang.

    Ini bukan skandal pertama, dan mungkin bukan yang terakhir. Tapi skala kasus ini—dari jumlah uang yang mengalir, hingga posisi para pelaku di puncak lembaga kehakiman—menjadikannya sebagai salah satu momen tergelap dalam sejarah peradilan Indonesia.

    Sistem yang Ditantang untuk Membersihkan Diri

    Kini, semua mata tertuju pada Mahkamah Agung dan lembaga penegak hukum lainnya. Bukan hanya untuk menghukum mereka yang terlibat, tapi untuk menjawab pertanyaan yang lebih besar: apakah sistem ini cukup kuat untuk membersihkan dirinya sendiri?

    Karena jika sistem keadilan telah dirusak dari dalam, maka kita bukan hanya kehilangan kepercayaan, tapi juga kehilangan arah. Dan di tengah kabut krisis ini, rakyat bertanya: ketika palu keadilan dijual, siapa yang akan membela mereka? ***

    Berita Terkini

    spot_imgspot_img

    Jangan Terlewatkan

    Tetap Terhubung

    Untuk mendapatkan informasi terkini tentang berita, penawaran, dan pengumuman khusus