Kamis, 20 Maret, 2025
spot_img
More

    Berita Terkini

    Pentingnya GBHN dan Peran MPR dalam Menentukan Arah Negara: Refleksi dari Seminar Ketatanegaraan

    BANDUNG, PARLE.CO.ID —  Guru Besar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara Universitas Padjadjaran Bandung,  I Gde Pantja Astawa, menegaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan saat ini harus memiliki maksud, arah, dan tujuan yang jelas. Menurutnya, diperlukan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai blue print dan kompas bagi Presiden dalam menjalankan pemerintahan. GBHN dianggap penting karena menjadi pedoman bagi Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

    “Ketiadaan atau dihapuskannya wewenang MPR menetapkan GBHN menyebabkan negara ini tidak memiliki cetak biru dalam membangun negara. Akibatnya, arah dan tujuan negara pun menjadi tidak jelas. Mau dibawa ke mana negara ini?” tegas Prof. Gde dalam Seminar bertajuk ‘Mengembalikan Marwah MPR RI sebagai Pelaksana Kedaulatan Rakyat’ pada Kamis  (6/2/2025).

    Amandemen UUD 1945 dan Dampaknya terhadap Kedaulatan Rakyat

    Prof Gde juga menyoroti beberapa pasal dalam UUD 1945 yang telah diamendemen oleh MPR. Salah satunya adalah Pasal 1 Ayat (1) yang menyatakan bahwa “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Ketentuan ini menegaskan bahwa kedaulatan rakyat merupakan salah satu pilar penting dalam bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    “Secara harfiah, ketentuan Pasal 1 Ayat (1) itu berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat,” ujar Prof Gde.

    Selain itu, Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 mengatur susunan keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), utusan daerah, dan utusan golongan. Susunan ini mencerminkan perpaduan antara political representation yang diwakili oleh DPR dan functional representation yang diwakili oleh utusan daerah dan golongan. Prof Gde menilai bahwa utusan daerah memiliki peran strategis dalam merumuskan GBHN, dibandingkan dengan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saat ini yang dinilai kurang jelas kinerjanya.

    Peran Strategis MPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

    Pasal 6 UUD 1945 juga menjadi perhatian Prof Gde, yang menyebutkan bahwa “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Menurutnya, ketentuan ini mengandung prinsip equality before the law and government. Meskipun semua warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih, tidak semua warga negara memenuhi persyaratan untuk menduduki jabatan Presiden, terutama jika yang bersangkutan bukan orang Indonesia asli.

    Akademisi Hukum Tata Negara, Muhammad Rullyandi, menambahkan bahwa perubahan rumusan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 telah mengubah peran MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. “Rakyat sudah merasakan implikasi dari perubahan tersebut, terutama tidak terkontrolnya keputusan politik kenegaraan,” kata Rullyandi.

    Tantangan dan Kritik terhadap Amendemen UUD 1945

    Rullyandi menilai bahwa keputusan politik kenegaraan saat ini lebih mengedepankan asas permusyawaratan, tetapi realitasnya justru mengarah pada praktik demokrasi liberal dan pragmatisme politik. Praktik-praktik ini dinilai tidak sejalan dengan gagasan para pendiri negara.

    Karena itu, Rullyandi menyarankan agar perubahan UUD 1945 perlu dipikirkan kembali untuk memperkuat peran dan posisi MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Sementara itu, praktisi hukum Agus Widjajanto menyayangkan sikap elite politik yang tidak melihat secara jernih sejarah terbentuknya desain negara dalam sistem ketatanegaraan.

    “Padahal sistem perwakilan dan musyawarah adalah manifestasi dari suara rakyat lewat majelis bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),” kata Agus.

    Agus juga mengkritik proses amendemen UUD 1945 yang telah dilakukan hingga empat kali. Menurutnya, perubahan tersebut telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berakibat pada konflik politik yang tiada henti.

    Seminar ini menggarisbawahi pentingnya GBHN sebagai pedoman arah pembangunan negara serta peran strategis MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan dinilai telah mengubah esensi kedaulatan rakyat dan menimbulkan berbagai tantangan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

    Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengembalikan marwah MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dan meninjau kembali amendemen UUD 1945 agar sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. (P-01)

    Berita Terkini

    spot_imgspot_img

    Jangan Terlewatkan

    Tetap Terhubung

    Untuk mendapatkan informasi terkini tentang berita, penawaran, dan pengumuman khusus