Minggu, 19 Januari, 2025
spot_img
More

    Berita Terkini

    Koreksi Pilkada Langsung Upaya Mewujudkan Pemerintahan Daerah yang Bersih

    JAKARTA, PARLE.CO.ID — Tujuan utama gagasan untuk mengoreksi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung adalah menciptakan tata kelola pemerintahan daerah yang bersih, efisien, demokratis, dan profesional. Sayangnya, praktik Pilkada langsung yang berbiaya mahal selama ini justru sering melahirkan administrasi pemerintahan yang koruptif.

    Pilkada langsung, yang lahir dari euforia reformasi, menjadi wujud nyata kedaulatan rakyat. Kehendak ini diatur dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 serta UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mekanisme ini kemudian diperkuat melalui UU Nomor 8 Tahun 2015. Kehadiran Pilkada langsung awalnya disambut positif oleh masyarakat, karena memungkinkan setiap individu memilih pemimpin daerah secara langsung.

    Namun, seiring waktu, praktik Pilkada langsung mulai mereduksi nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Politik uang menjadi salah satu modus yang sering dilakukan untuk memenangkan suara, mengorbankan literasi publik terkait urgensi kompetensi pemimpin daerah. Kontestan lebih memilih jalan pintas, seperti memanfaatkan pengaruh tokoh masyarakat atau tim relawan untuk menggalang dukungan.

    Politik Uang dan Dampaknya pada Pilkada Langsung
    Praktik politik uang dalam Pilkada langsung bukan hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga menciptakan budaya korupsi di tingkat daerah. Kontestan yang mengeluarkan dana besar untuk “membeli suara” cenderung melihat kemenangan sebagai investasi. Biaya yang dikeluarkan dalam kampanye sering kali mencapai ratusan miliar rupiah, terutama untuk jabatan gubernur, sementara untuk bupati atau wali kota mencapai puluhan miliar.

    Setelah terpilih, kepala daerah sering kali berupaya “balik modal” melalui berbagai cara, termasuk memanfaatkan celah dalam administrasi pemerintahan. Hal ini tidak hanya menciptakan birokrasi yang tidak efisien, tetapi juga melahirkan kebijakan yang menguntungkan segelintir pihak. Dalam jangka panjang, praktik ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan daerah.

    Modus ini menjadi cikal bakal administrasi pemerintahan daerah yang koruptif. Sejak lama, korupsi di level pemerintah kabupaten, kota, hingga desa menjadi cerita yang akrab di telinga masyarakat. Tren ini tercermin dalam data resmi tentang banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.

    Data Korupsi Kepala Daerah dan Implikasinya
    Data menunjukkan tren yang memprihatinkan. Pada 2013, sekitar 70% kepala daerah di Indonesia terjerat kasus korupsi, dengan 291 kepala daerah terlibat. Hingga saat ini, KPK telah menangani 618 kasus korupsi di pemerintahan kabupaten dan kota, dengan 167 kepala daerah—termasuk wali kota, bupati, dan wakilnya—terjerat.

    Ironisnya, meskipun fakta ini sudah lama terungkap, praktik serupa masih terus berlangsung. Pada Pilkada 2024, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 138 kandidat terindikasi terlibat kasus korupsi, mencakup gubernur, wali kota, hingga bupati. Beberapa bahkan pernah menjadi terdakwa atau terpidana kasus korupsi. Fakta ini menunjukkan bahwa sistem Pilkada langsung belum mampu menyeleksi kandidat yang benar-benar berintegritas.

    Pilkada Langsung dan Minimnya Dampak Positif
    Dengan tren korupsi seperti ini, manfaat Pilkada langsung menjadi nyaris nihil. Banyak masyarakat berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak memberikan dampak signifikan bagi perbaikan kualitas pelayanan publik. Bahkan, isu-isu fundamental seperti kemiskinan, stunting, dan putus sekolah masih sering diabaikan.

    Dalam tiga tahun terakhir, pemerintah pusat telah mentransfer dana sebesar Rp2.300 triliun ke daerah. Namun, angka kemiskinan tetap tinggi, stunting nyaris tidak ditangani, dan masalah pendidikan anak dan remaja kurang diperhatikan. Hal ini menunjukkan lemahnya perhatian pemerintah daerah terhadap kebutuhan dasar masyarakat.

    Saatnya Mengoreksi Pilkada Langsung
    Praktik Pilkada langsung yang koruptif, tanpa etika, dan membodohi masyarakat adalah musuh demokrasi. Koreksi terhadap Pilkada langsung menjadi kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan masa depan bangsa. Modus yang sarat penyimpangan ini tidak hanya menghambat pembangunan, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi.

    Demi kebaikan bersama, masyarakat tidak boleh takut untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Pilkada langsung. Hanya dengan komitmen bersama untuk memperbaiki sistem, tata kelola pemerintahan daerah yang bersih dan demokratis bisa terwujud. (P-01)

    Oleh:
    Bambang Soesatyo,
    Anggota DPR/Ketua MPR ke-15/Ketua DPR ke-20/Ketua Komisi III DPR ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur, Trisakti, Jayabaya, dan Universitas Pertahanan

     

    Berita Terkini

    spot_imgspot_img

    Jangan Terlewatkan

    Tetap Terhubung

    Untuk mendapatkan informasi terkini tentang berita, penawaran, dan pengumuman khusus