Ilustrasi pilkada serentak 2024 (DOKUMEN ANTARA)

Integritas Pilkada 2024 Komitmen Melawan Politik Transaksional

Komentar
X
Bagikan

JAKARTA, PARLE.CO.ID — Pilkada serentak 2024 layaknya ujian besar bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Lebih dari sekadar memilih pemimpin daerah, Pilkada kali ini menjadi cerminan kualitas institusi demokrasi, keberanian menegakkan integritas, dan komitmen melawan politik transaksional. Dalam konteks ini, pilkada bukan hanya ajang kompetisi antarcalon, tetapi juga arena pertarungan nilai-nilai demokrasi. Keadaan pun menjadi kian menantang manakala Komisi Pemilihan Umum (KPU) menargetkan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak Nasional 2024 bisa mencapai 82%.

Anggota KPU Idham Holik menyampaikan target tersebut mengacu pada capaian partisipasi pada pemilu yang dinilai cukup tinggi dibandingkan negara-negara demokrasi maju. Memang sejatinya, di balik pesta demokrasi ini, sejumlah tantangan yang muncul harus diantisipasi dengan cermat untuk menjaga integritas proses pemilihan.

Tokoh-tokoh besar sering kali memberikan pengaruh signifikan dalam kontestasi politik di daerah. Mantan pejabat nasional, pemimpin partai politik, hingga tokoh masyarakat memiliki daya tarik yang dapat mengarahkan pilihan publik. Kehadiran mereka, meskipun sering diklaim sebagai upaya netral untuk memberikan dukungan moral, kerap memunculkan polarisasi di tengah masyarakat.

Polarisasi ini bukan hanya memengaruhi hasil Pilkada, tetapi juga merusak harmoni sosial yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi lokal. Dalam situasi ini, sangat penting bagi tokoh-tokoh tersebut untuk memastikan bahwa dukungan mereka tidak menimbulkan konflik dan tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan dan transparansi.

Netralitas Aparat
Pilkada menghadapi tantangan lain manakala netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi isu yang juga selalu hangat dalam setiap gelarannya. Sejarah mencatat, ada banyak kasus di mana ASN terlibat aktif dalam mendukung calon tertentu. Secara terang-terangan maupun melalui jejaring birokrasi, keberpihakan ASN sering kali digunakan untuk memenangkan kandidat yang memiliki akses politik kuat.

Hal ini tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara, tetapi juga menciptakan ketimpangan kompetisi di antara kandidat. Koordinasi antara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) harus ditingkatkan untuk mengidentifikasi pelanggaran netralitas ASN sejak dini.

Selain itu, regulasi terkait sanksi terhadap pelanggaran netralitas ASN perlu disosialisasikan secara masif agar menjadi pengingat tegas bagi seluruh aparatur. Tak hanya ASN, aparat keamanan juga memiliki peran penting dalam menjaga netralitas pilkada. Laporan dari berbagai Pilkada sebelumnya menunjukkan bahwa aparat keamanan, baik dari Polri maupun TNI, kadang-kadang dianggap memihak calon tertentu.

Pengamat sekaligus Co-Founder Institute For Security dan Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi menyebut TNI sangat berperan dalam menciptakan situasi yang kondusif dan aman selama pilkada 2024. TNI menurut Khairul harus memperkuat sinergi dengan aparat kepolisian dan pihak penyelenggara pemilu agar proses pilkada dari kampanye dan pencoblosan bisa berjalan dengan lancar.

Memang faktanya netralitas aparat keamanan adalah kunci untuk memastikan bahwa Pilkada 2024 berjalan lancar tanpa intimidasi atau tekanan politik. Penegakan kode etik yang tegas dan tidak pandang bulu, disertai pengawasan ketat, harus menjadi bagian dari strategi pengawasan pilkada.

Dalam hal ini, kerja sama antara Polri, TNI, dan Bawaslu sangat diperlukan untuk menciptakan suasana yang kondusif dan menjamin keadilan proses pemilu. Di sisi lain, potensi gratifikasi pasca-Pilkada menjadi ancaman serius yang sering kali luput dari perhatian publik.

Praktik gratifikasi dalam bentuk uang, proyek, atau jabatan kepada pihak-pihak yang dianggap berjasa memenangkan calon kepala daerah masih menjadi masalah laten yang terus membayangi demokrasi di tingkat lokal. Gratifikasi semacam ini tidak hanya mencederai nilai-nilai demokrasi, tetapi juga merusak tata kelola pemerintahan yang baik.

Dalam konteks ini, peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi sangat vital. KPK harus lebih proaktif dalam memperluas jaringan pengawasan hingga ke tingkat daerah. Penempatan tim khusus di daerah-daerah yang menggelar pilkada dapat menjadi langkah awal untuk mendeteksi potensi pelanggaran sejak dini.

Lebih dari itu, edukasi kepada masyarakat dan kandidat tentang bahaya gratifikasi politik harus ditingkatkan. Salah satu langkah inovatif yang dapat diambil adalah mengintegrasikan sistem pelaporan gratifikasi berbasis digital dengan aplikasi Pilkada yang transparan dan mudah diakses.

Sistem ini memungkinkan pelaporan anonim oleh masyarakat dan pemantauan langsung oleh publik. Partisipasi aktif masyarakat dalam pelaporan pelanggaran dapat menjadi penguat utama dalam mencegah korupsi politik.

Sinergi Antarlembaga
Dalam praktiknya untuk mewujudkan integritas pelaksanaan pilkada yang terjaga baik, upaya ini harus didukung dengan perkuatan sinergi antar-lembaga pengawas. Koordinasi antara KPK, Bawaslu, KASN, dan aparat penegak hukum lainnya harus lebih erat untuk memastikan tidak ada ruang bagi pelanggaran hukum.

Selain itu, pengawasan keuangan kampanye juga perlu diperketat. Berdasarkan laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) tentang Pemantauan Dana Kampanye Pilkada 2020 yang dirilis 6 Desember 2020, menunjukkan sekitar 40% dana kampanye dalam pilkada 2020 berasal dari sumber yang tidak jelas atau dengan kata lain dari sumber yang masih belum tercermin secara jelas dan rinci.

Transparansi pendanaan kampanye, termasuk pelaporan real-time melalui platform digital, harus menjadi prioritas agar masyarakat dapat memantau penggunaan dana secara langsung. Penerapan teknologi juga dapat menjadi alat penting dalam pengawasan Pilkada. Penggunaan blockchain, misalnya, dapat memastikan integritas data hasil pemilu dan distribusi logistik pemilu.

Teknologi ini mampu menciptakan sistem yang transparan, di mana setiap transaksi dan proses pemilu tercatat dan tidak dapat diubah. Studi menunjukkan bahwa blockchain telah digunakan di beberapa negara, seperti Estonia, untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu.

Estonia tercatat telah menjadi pelopor dalam penerapan teknologi blockchain di sektor publik. Sejak 2012, negara ini menggunakan KSI (Keyless Signature Infrastructure) Blockchain untuk memastikan integritas data dalam berbagai layanan pemerintah, termasuk registrasi kesehatan, properti, bisnis, dan sistem pengadilan digital.

Selain itu, analisis big data dan kecerdasan buatan (AI) dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi pola-pola mencurigakan dalam kampanye politik, seperti lonjakan dana kampanye yang tidak wajar atau distribusi suara yang anomali.

Maka ke depan, pemerintah perlu mempercepat digitalisasi sistem pengawasan Pilkada. Dengan memanfaatkan teknologi yang ada, seperti aplikasi pelaporan pelanggaran dan integrasi data antar-lembaga, proses pengawasan dapat dilakukan secara lebih efisien dan transparan.

Selain itu, masyarakat perlu didorong untuk berpartisipasi aktif dalam pengawasan pilkada. Edukasi tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam melaporkan pelanggaran harus menjadi bagian dari kampanye nasional yang dikelola oleh KPU dan Bawaslu.

Pilkada 2024 adalah momentum besar untuk membuktikan bahwa demokrasi Indonesia telah mencapai tingkat kedewasaan yang baru. Integritas bukan hanya tugas lembaga pengawas, tetapi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa. Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan, pilkada 2024 dapat menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia.

Demokrasi yang berkualitas bukan hanya sekadar harapan, melainkan sebuah keniscayaan yang dapat dicapai dengan kerja keras, dedikasi, dan pengawasan yang transparan. (Hani Sofia/Antara/P-01)

 

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *