Oleh: Fahri Hamzah (Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia)
SAYA bersyukur sekali bisa menyaksikan tiga peristiwa penting di awal pekan ini. Saya diajak menyaksikan peresmian tiga smelter di tiga tempat yang melambangkan tiga jenis pulau yang dimiliki oleh negara kita.
Pertama, di pulau Sumbawa untuk meresmikan smelter milik PT. Amman Mineral. Perusahaan milik swasta murni dalam negeri yang beroperasi di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan yang kedua adalah di Gresik, Jawa Timur. Menyaksikan peresmian operasi smelter milik PT. Freeport Indonesia, milik 51% BUMN yang beroperasi produksi sepenuhnya di Pulau Papua, dan yang ketiga adalah meresmikan smelter produk alumina yang berada di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat yang 100% milik BUMN kita.
Ini adalah perjalanan di tiga pulau yang semuanya kaya raya dari pulau yang kategorinya pulau kecil di Sumbawa, lalu pulau terpadat di Indonesia, pulau Jawa dan pulau yang terbesar di Indonesia, yaitu pulau Kalimantan, yang berada di tengah Indonesia dan sudah menjadi lokasi dan tempat dari Ibu Kota Negara kita IKN Nusantara.
Setelah 400 Tahun
Dalam pidato yang datar, Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengungkap bahwa kegiatan pengiriman bahan mentah dari bumi Indonesia, sudah dimulai 400 tahun yang lalu, ketika para penjajah memang mengincar khatulistiwa Bumi Nusantara ini, akibat kaya raya dengan sumber daya alam yang beragam.
“Kita ini sudah ekspor bahan mentah lebih dari 400 tahun yang lalu sejak zaman VOC. Kita ekspor bahan mentah kita yang dulu banyak adalah rempah-rempah,” kata Presiden Jokowi dalam peresmian Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat, pada Selasa (24/9/2024).
“Kita yang memiliki sumber daya alam, ekspor hanya bahan mentah tidak bisa berkembang menjadi negara maju. Dan negara-negara maju betul-betul sudah kecanduan terhadap impor bahan-bahan mentah kita. Sehingga saat kita ingin hilirisasi, pasti diganggu, pasti mereka tidak rela, pasti mereka tidak mau,” tegas Presiden disambut tepuk tangan hadirin.
Pernyataan Presiden yang sangat datar tapi, tegas ini melambangkan satu tekad yang kuat bahwa setelah hampir 80 tahun kita merdeka, barulah akhirnya kita punya tenaga yang memadai untuk melampaui segala hambatan yang menghalangi kita untuk menjadi negara industri dan negara maju. Selama ini pastilah pernah ada upaya tetapi jelas sejarah sama sekali tidak terbuka bagi kita untuk mengelola sendiri sumber daya alam kita di segala sektor yang ada.
Kini kita mulai melangkah dan langkah ini saya lihat sendiri dengan mata kepala saya dengan rasa haru dan bangga menyaksikan keping demi keping Emas, Tembaga, Alumina, Selenium dan termasuk Asam Sulfat, menjadi hasil dari bumi dan Tanah Air kita.
Mengubah Nasib
Jika kita membaca dalam pembukaan Undang-Undang Dasar, maka kemerdekaan itu adalah atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa yang didorong oleh keinginan luhur. Tapi perubahan nasib kita untuk menjadi negara maju dan negara industri, memerlukan tekad yang kuat dan pemimpin yang keras kepala. Secara tegas di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mau mengubahnya sendiri. Oleh sebab itu menegaskan diri sebagainegara maju melalui pengelolaan sumber daya alam kita yang merupakan amanah dari konstitusi Pasal 33 UUD 1945, tidak lain dan tidak bukan adalah pendirian untuk mengubah nasib kita dari negara dengan pendapatan yang rendah menjadi negara industri dengan pendapatan yang tinggi.
Kita dulu adalah negara jajahan yang secara bergilirab dieksploitasi oleh negara negara industri di Eropa pasca revolusi industri yang memerlukan bahan mentah yang berlimpah Limpah dari kawasan kita, mulai dari rempah-rempah, kopra, sawit, segala jenis sumber daya alam yang tumbuh di atas bumi Indonesia dan yang terkandung di dalamnya baik berupa minyak, mineral, batubara dan berbagai jenis bahan mentah untuk menopang eksistensi dan kejayaan negara kolonial imperialis.
Memang menjadi watak kaum kolonial yang datang ke negara jajahan dengan maksud agar mereka bisa mengambil bahan mentah dari bumi kita, lalu mengambil buruh murah dari rakyat kita yang bekerja tanpa digaji di perkebunan dan pertambangan yang mereka miliki. Lalu setelah itu mereka juga menjadikan kita sebagai pasar begitu terjadi sedikit tetesan ke bawah maka tetesan itupun mereka pakai untuk menjual produk-produk yang mereka miliki. Maka untuk itulah kita merdeka 79 tahun yang lalu, untuk melepas diri dari segala bentuk penjajahan yang ada pada diri kita.
Tapi itu semua menjadi sama apabila maksud maksud awal kaum kolonial untuk mengambil bahan mentah di negeri ini tidak berubah. Mereka masih mengisap bahan mentah kita, lalu mereka memakai buruh murah dan setelah itu mereka menjadikan kita sebagai pasar bagi produk produk yang bahan bakunya justru diambil dari negeri kita sendiri.
Maka menurut saya sikap keras kepala Presiden Jokowi dan Presiden terpilih Prabowo dalam melaksanakan hilirisasi setara dengan setiap upaya kita untuk mengubah nasib kita dari negara yang dijajah oleh kaum kolonial menjadi negara yang dijajah oleh kaum kapitalis global yang menurut Pak Jokowi, ‘semakin kecanduan’ dengan bahan mentah yang kita miliki. Ini makna terdalam yang harus kita hayati karena tidak ada cara lain untuk keluar dari keadaan kita sekarang, kita harus menjadi negara industri dan kita harus kelola sendiri bahan sumber daya alam kita sebagai satu-satunya jalan bagi bangsa besar ini.
Menggenggam Mulia
Mata saya berkaca-kaca memegang logam mulia dari 3 smelter yang diresmikan kemarin. Untuk pertama kali saya melihat dua tambang emas terbesar di negara ini, dari Sumbawa dan Papua sungguh mengharukan karena yang kita lihat adalah bongkahan-bongkahan emas murni dan logam mulia mineral turunan lainnya, termasuk bahan-bahan untuk nuklir, seperti uranium dan plutonium yang secara kaya di kandung oleh bumi Indonesia.
Smelter ini ibarat mesin yang mengkonversi kebodohan kita dalam waktu yang lama sejak kita dijajah sehingga kita hanya menonton sumber daya alam kita lari keluar negeri tanpa nilai tambah yang memadai dan juga tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menyerah saja kepada pasar global yang semakin kecanduan dengan bahan mentah Indonesia.
Di sungai dan laut perairan Indonesia selama berabad-abad kita menyaksikan tongkang dan kapal kapal pengangkut sumber daya alam lalu lalang pergi meninggalkan negeri ini menyisakan lubang dan tanah yang hilang kesuburannya karena dikerok tanpa ampun. Inilah yang membuat dua pemimpin bangsa utama kita hari ini, Presiden Jokowi dan Presiden terpilih Prabowo Subianto saling mendukung untuk memastikan bahwa program hilirisasi nasional adalah program strategis nasional yang harus dijalankan dengan segala macam upaya karena ini menentukan perubahan nasib kita ke depan.
“Jadi, kalau sumber alam kita dalam bentuk mentah, itu berarti hulu. Kita tidak mau izinkan dijual murah, dalam bentuk mentah lagi. Harus diolah, diolah, diolah sampai pabrik-pabrik hilirnya ada di bumi Indonesia,” ucap Prabowo suatu saat.
Ia mencontohkan bahwa pada tahun 2017, nikel diekspor dalam bentuk mentah, menghasilkan pendapatan sebesar 3,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp50 triliun. Namun, setelah larangan ekspor nikel diberlakukan oleh Presiden Jokowi pada tahun 2020, penghasilan dari ekspor nikel pada tahun 2022 meningkat drastis menjadi 33,8 Miliar dolar AS, naik 10 kali lipat atau 1000 persen. Dapat dibayangkan betapa mulianya negeri ini apabila semua bahan mentah yang selama ini kita jual begitu saja mulai kita produksi sendiri di tanah kita sendiri, oleh bangsa kita sendiri dan menghasilkan mata yang asing yang begitu besar bagi cadangan devisa dan pembangunan kita.
Inilah cita-cita besar yang hampir setara dengan kemerdekaan kita. Maka kita bersyukur bahwa pemimpin pemimpin yang lahir hari ini akan bersatu untuk mensukseskan Indonesia menjadi negara maju dan Indonesia menjadi negara industri yang mengejar begitu lama ketertinggalan kita terhadap bangsa lain yang merdeka bersamaan dengan kita.
Semoga Mulia Adanya! ***