JAKARTA, PARLE.CO.ID – UUD 1945 bukanlah kita suci yang tabu untuk diubah. Justru, harus terus menerus dilakukan evaluasi secara mendalam agar UUD 1945 dapat menjawab tantangan zaman. Soal ini ditegaskan Ketua MPR Bambang Soesatyo, sebagaimana pendapat dari Ketua Forum Aspirasi Konstitusi yang juga anggota DPD Jimly Asshiddiqie.
“Setelah melakukan empat kali amendemen, terakhir pada 2002, dibutuhkan penataan kembali sistem politik ketatanegaraan pasca-25 tahun Reformasi, untuk melihat sejauh mana konstitusi telah bekerja untuk kemajuan bangsa,” tambah Bamsoet usai membuka Focus Group Discussion (FGD) bersama Forum Aspirasi Konstitusi tentang Penataan dan Penguatan Kelembagaan MPR-DPR-DPD melalui Perubahan ke-5 UUD di MPR, Jakarta, Senin (29/7/2024).
Evaluasi konstitusi, jelas Bamsoet, bukan semata pada penataan kewenangan lembaga negara, seperti halnya penguatan MPR dari sisi kewenangan maupun keanggotaan. Melainkan juga pada perbaikan redaksional dalam penulisan konstitusi. Oleh Prof Jimly disebut dengan merakit, merajut, dan menjahit kembali naskah konstitusi pasca-Reformasi. Hasil kajian tentang perubahan ke-5 UUD 1945 ini akan menjadi bahan rekomendasi pimpinan MPR sekarang kepada pimpinan MPR RI periode 2024-2029.
Terkait penataan kewenangan lembaga negara, Forum Aspirasi Konstitusi sudah menyerap aspirasi dari berbagai kalangan yang menginginkan agar MPR bisa kembali menjadi Lembaga Tertinggi Negara, sehingga bisa berperan aktif menyelesaikan berbagai dispute kebuntuan politik dan hukum yang terjadi di negeri ini. Dari sisi keanggotaan, selain diisi anggota DPR sebagai representasi politik, dan anggota DPD RI sebagai representasi golongan, keanggotaan MPR RI juga perlu diisi kembali oleh Utusan Golongan.
“Kehadiran Utusan Golongan sejak awal kemerdekaan telah diinisiasi oleh para founding fathers kita, dengan semangat tidak boleh ada satu pun elemen bangsa yang ditinggalkan. Reformasi justru menghapuskan keberadaannya. Tidak heran jika kini banyak kelompok masyarakat yang tidak puas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya karena mereka merasa tidak dilibatkan, bahkan merasa ditinggalkan,” tandas Bamsoet. (P-01)