MEKKAH, PARLE.CO.ID – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI sebagai perwakilan masyarakat dan daerah, memiliki kepentingan langsung terhadap penyelenggaraan ibadah haji agar berlangsung aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 27 UU 8 Tahun 2019 yang menegaskan kedudukan DPD RI sebagai pengawas eksternal, melaksanakan amanat tersebut melakukan pengawasan atas penyelenggraan ibadah haji pada musim haji tahun 1445 H/2024 M.
Demikian disampaikan Ketua Tim Pengawasan (Timwas) Haji DPD RI Abdul Hakim melalui keterangan pers tertulisnya, Kamis (20/6/2024). Timwas Haji DPD RI ini terdiri dari 9 orang yakni Abdul Hakim (Lampung), Mirati Dewaningsih (Maluku), Ajbar (Sulbar), Muhammad Gazali (Riau), Ria Saptarika (Kepri), Herry Efrian (Kep. Babel), Eni Khairani (Bengkulu), Bambang Sutrisno (Jateng), dan Tgk. Ibnu Halil (NTB).
Abdul Hakim yang secara umum megapresiasi kinerja Pemerintah yang telah mengupayakan berbagai berbaikan dalam layanan ibadah haji. Salah satunya aplikasi kawal Haji yang sangat bermanfaat membantu para jamaah haji.
‘Aplikasi Kawal haji menjadi kanal penghubung antarjemaah haji, petugas, keluarga, dan publik, serta stakeholder lainnya,” katanya.
Meski demikian, Abdul Hakim mengkritisi kebijakan Haji Ramah Lansia yang menjadi tagline penyelenggaraan ibadah haji tahun 1445 H/2024 M. Pasalnya, sejak musim haji 2023 penyelenggaraan ibadah haji mengusung tema dan tagline ‘Haji Ramah Lansia’ ini tidak terlepas dari fakta masih banyak jemaah haji yang berusia 65 tahun ke atas.
Menurut Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) jumlah jamaah haji di atas 65 tahun hampir 45 ribu orang. Jumlah ini tentu tidak bisa dikatakan sedikit. Jika dirasiokan berdasarkan total kuota jemaah haji reguler, 213.320, maka prosentasenya hampir 21%.
Lansia ini terbagi dalam empat kelompok umur: 34.420 jemaah pada rentang umur 66-75 tahun, 8.435 pada rentang umur 76-85 tahun, 1.835 pada rentang umur 86-95 tahun, dan 55 dengan usia lebih 95 tahun.
“Seharusnya dengan komposisi jamaah haji yang sedemikian itu, layanan istiha’ah kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah diperketat serta dilakukan secara mendetail,” kata Hakim lagi.
Meski Pemerintah menetapkan istiha’ah kesehatan menjadi syarat pelunasan Bipih haji regular, faktanya layanan istiha’ah kesehatan, kata Hakim, sejauh ini sebatas formalitas belaka. Hal ini berdasarkan temuan yang diperoleh oleh tim pengawasan DPD RI di Mekkah.
Pertama, jumlah jamaah haji 2024 yang berusia 40 tahun ke atas atau lebih yang memiliki resiko tinggi dengan penyakit bawaan seperti hipertensi, kolesterol tinggi, dan diabetes sangat banyak jumlahnya.
Menurut Abdul Hakim, kondisi ini tentu patut dipertanyakan. Bagaimana mungkin mereka bisa yang dinyatakan lolos dan memenuhi syarat istithaah kesehatan.
“Kami temukan misalnya ada jamaah haji yang sudah pada fase cuci darah, bepergian haji sendiri dan tanpa pendamping. Ini yang banyak terjadi,” tegasnya.
Kedua, lanjutnya, kondisi ini diperparah dengan tidak sebandingnya proporsi jumlah tenaga kesehatan yang tersedia dengan jamaah yang ada. Menurut Abdul Hakim, sepanjang jamaah dengan resiko tinggi dan penyakit tersebut melakukan pemeriksaan secara rutin ke dokter, berpola hidup mengikuti arahan dokter selama di Indonesia mungkin tidak ada masalah.
“Jika sebaliknya, malah mengganggu ritual ibadah di Mekkah. Tambahan lagi UU Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh tegas menyebutkan bahwa penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional yang dilakukan oleh Pemerintah. Sehingga seharusnya Pemerintah secara optimal melaksanakan layanan kesehatan tersebut,” katanya.
Kedua temuan ini, menurut Abdul Hakim, akan menjadi catatan dalam pengawasan DPD RI atas penyelenggaraan ibadah haji yang nanti akan diserahkan oleh DPD RI kepada DPR RI dan pemerintah. ***