Rabu, 21 Mei, 2025
spot_img
More

    Berita Terkini

    Strategi Indonesia Hadapi Perang Dagang Trump, Kurangi Ketergantungan Visa dan MasterCard

    JAKARTA, PARLE.CO.ID – Dalam menghadapi dampak perang dagang yang dilancarkan oleh Presiden AS Donald Trump, Indonesia mengambil langkah strategis yang mempertimbangkan tak hanya aspek ekonomi, tapi juga politik dan keamanan. Dradjad Wibowo, ekonom senior dari INDEF, memaparkan strategi tersebut dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema “Kebijakan Tarif Resiprokal AS: Apa Dampak Ekonomi dan Politik Bagi Indonesia dan Bagaimana Solusinya?” yang digelar di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (24/4/2025).

    “Perdagangan global sejak dulu tidak pernah bisa dipisahkan dari politik dan keamanan,” ujar Dradjad seraya mencontohkan bagaimana dominasi Belanda lewat VOC pada masa kolonial dimulai dari kepentingan dagang, lalu berkembang menjadi kontrol politik dan militer.

    Menghadapi kebijakan tarif Trump, yang menciptakan ketegangan dalam neraca perdagangan global, Indonesia memilih pendekatan ‘balancing’. Artinya, ketimbang merespons dengan retaliasi tarif, pemerintah justru menyeimbangkan defisit perdagangan AS terhadap Indonesia — yang berkisar antara USD 13–16 miliar — dengan meningkatkan impor dari Amerika Serikat.

    “Kita geser impor dari negara lain ke Amerika, terutama untuk sektor migas. Impor kita dari AS baru sekitar USD 2,6 miliar, padahal total impor migas kita mencapai USD 18 miliar,” jelasnya.

    Langkah ini dinilai sebagai pilihan optimal dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap stabilitas politik dan nilai tukar rupiah. Namun, strategi ini tidak tanpa risiko.

    “Menggeser impor dari negara lain seperti Singapura, Arab Saudi, dan India berpotensi menimbulkan ketegangan baru. Kalau Saudi tersinggung, bisa berdampak pada kuota haji kita. Kalau India marah, bisa kena kelapa sawit kita,” kata Dradjad.

    Lebih jauh, ia memperingatkan soal tekanan dari Amerika terkait sistem pembayaran digital. “Kalau semua transaksi digital kita harus lewat Visa dan MasterCard, artinya keuntungan besar lari ke perusahaan Amerika. Kita harus tolak itu,” tegasnya.

    Ia mendukung penguatan sistem domestik seperti QRIS dan perlindungan terhadap sektor digital nasional. Dradjad juga mengkritik laporan tahunan dari United States Trade Representative (USTR) yang dianggap lebih mewakili kepentingan dagang AS ketimbang tekanan formal.

    “Itu bukan tekanan, itu daftar keinginan dagang mereka. Sebagian bisa kita tolak,” imbuhnya lagi.

    Ia mendorong pemerintah untuk memangkas “ekonomi biaya tinggi” di dalam negeri sebagai strategi utama menghadapi kenaikan tarif. Dengan menurunkan biaya produksi hingga 30%, Indonesia bisa tetap kompetitif bahkan jika dikenai tarif tinggi oleh AS.

    “Kalau produsen kita efisien, dihantam tarif pun masih bisa bersaing,” kafa Drajad.

    Menutup pernyataannya, Dradjad mengingatkan bahwa respons terhadap Trump harus lintas sektor dan kalkulatif. “Efek Trump ini luas. Kita harus hadapi bukan hanya dengan rumus ekonomi, tapi juga politik dan keamanan. Kalau tidak matang menghitung, bisa-bisa kita yang kalah di semua lini,” demikian Drajat. ***

    Berita Terkini

    spot_imgspot_img

    Jangan Terlewatkan

    Tetap Terhubung

    Untuk mendapatkan informasi terkini tentang berita, penawaran, dan pengumuman khusus