JAKARTA, PARLE.CO.ID — Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengungkap hasil investigasi internal terkait polemik penerbitan sertifikat hak atas tanah yang berada di area pagar laut di Kabupaten Tangerang, Banten.
Dari hasil audit investigasi, enam pegawai dikenakan sanksi berat berupa pemecatan, sementara dua pegawai lainnya menerima sanksi berat dalam bentuk pembebasan dari jabatan.
“Kami melakukan audit investigasi terhadap proses penerbitan sertifikat tersebut. Dari hasil audit tersebut, kami merekomendasikan pencabutan lisensi kepada Kantor Jasa Survei Berlisensi (KJSB), karena pengukuran dilakukan oleh perusahaan swasta,” ungkap Nusron dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (30/1/2025).
Menurut Nusron, Kementerian ATR/BPN menggunakan dua metode survei dalam penerbitan sertifikat tanah, yakni survei yang dilakukan oleh petugas ATR/BPN dan survei melalui jasa survei berlisensi yang harus mendapat pengesahan dari petugas ATR/BPN.
Adapun daftar pejabat dan pegawai Kementerian ATR/BPN yang dikenakan sanksi berat dalam kasus ini adalah:
- JS (Eks Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang)
- SH (Eks Kepala Seksi Penetapan Hak & Pendaftaran)
- ET (Eks Kepala Seksi Survei dan Pemetaan)
- WS (Ketua Panitia A)
- YS (Ketua Panitia A)
- NS (Panitia A)
- LM (Eks Kepala Seksi Survei dan Pemetaan setelah ET)
- KA (Eks Plt Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran)
Tekanan Politik dalam Penerbitan HGB
Nusron Wahid juga menyoroti tekanan politik yang tinggi dalam penerbitan sertifikat hak guna bangunan (HGB), terutama di kota-kota besar yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
“Tekanan politik dalam penerbitan HGB ini sangat berat, terutama di daerah dengan nilai ekonomi tinggi. Bahkan untuk setengah hektar saja, tekanannya sudah luar biasa,” jelas Nusron.
Ia menambahkan bahwa kepala kantor pertanahan (kakantah) sering kali menghadapi tekanan besar dalam proses penerbitan HGB, yang melibatkan banyak pihak. Nusron menyinggung bahwa dalam kasus di Tangerang, semua prosedur administratif telah dipenuhi, termasuk pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), meskipun tanah yang disertifikasi berada di area laut.
“Kami sudah memeriksa satu per satu dokumen terkait. Secara prosedural dan juridis, semuanya lengkap. Namun, ketika kami melakukan pengecekan fakta material di lapangan, barulah ditemukan kejanggalan,” tambahnya.
Asal-Usul Sertifikat di Area Pagar Laut
Dalam rapat dengan Komisi II DPR, Nusron Wahid menjelaskan bahwa sertifikat yang diterbitkan di area pagar laut Tangerang berasal dari girik yang dimiliki masyarakat sejak tahun 1982. Girik-girik tersebut kemudian dikonversi menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
“Ini bukan pemberian hak baru, tetapi konversi dari girik yang sudah ada,” terang Nusron.
Karena diterbitkan melalui program PTSL, maka panitia ajudikasi bertanggung jawab penuh atas penerbitan sertifikat tersebut.
Langkah Kementerian ATR/BPN: Pencabutan Sertifikat dan Evaluasi Regulasi
Sebagai langkah korektif, Kementerian ATR/BPN telah mencabut sejumlah sertifikat yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hingga saat ini, sebanyak 50 dari 263 sertifikat telah dicabut, dan jumlah tersebut masih bisa bertambah seiring dengan proses pengecekan lebih lanjut.
Selain itu, Nusron juga menyatakan perlunya evaluasi terhadap Peraturan Menteri (Permen) Nomor 16 Tahun 2022 yang mengatur pelimpahan kewenangan dalam pemberian hak dan konversi hak HGB badan hukum kepada kantor pertanahan (kantah). Menurutnya, beban yang diberikan kepada kantor pertanahan terlalu besar.
“Kami berencana untuk melimpahkan kewenangan pemberian hak HGB ke tingkat yang lebih tinggi. Untuk bidang tanah hingga 5 hektar bisa tetap di tingkat provinsi, sedangkan untuk luas lebih dari 5 hektar hingga 25 hektar ke atas akan ditangani langsung oleh kementerian,” ujar Nusron.
Ada Permasalahan Sistemik dalam Proses Penerbitn Hak Atas Tanah
Polemik sertifikat tanah di area pagar laut Tangerang menunjukkan adanya permasalahan sistemik dalam proses penerbitan hak atas tanah di Indonesia. Investigasi internal Kementerian ATR/BPN mengungkap adanya pelanggaran yang berujung pada pemecatan enam pegawai dan sanksi berat kepada dua lainnya. Selain itu, tekanan politik dalam penerbitan HGB di wilayah dengan nilai ekonomi tinggi semakin memperumit permasalahan.
Sebagai solusi, Kementerian ATR/BPN telah mencabut puluhan sertifikat yang bermasalah dan berencana mengevaluasi regulasi yang ada untuk mengurangi beban kerja kantor pertanahan serta meminimalisir potensi penyalahgunaan wewenang. Namun, kasus ini menjadi pengingat bahwa transparansi dan pengawasan yang lebih ketat masih sangat dibutuhkan dalam sektor pertanahan di Indonesia. (P-01)