JAKARTA, PARLE.CO.ID — Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menjadi kebutuhan mendesak guna mendukung penegakan hukum yang sejalan dengan perlindungan hak asasi manusia. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 pada 2 Januari 2026, muncul berbagai gagasan terkait restrukturisasi fungsi penegakan hukum, termasuk wacana penyidikan tunggal yang dilakukan Polri.
Namun, gagasan ini memicu perdebatan, terutama dari pihak-pihak yang menganggap hal ini dapat mengusik kewenangan lembaga lain seperti kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, ada kekhawatiran bahwa revisi KUHAP dapat memengaruhi eksistensi lembaga-lembaga tersebut.
Dualisme Kewenangan Penyidikan: Menjaga atau Melebur?
Secara historis, kewenangan penyidikan bukanlah monopoli Polri. Institusi kejaksaan, berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 16 Tahun 2004 yang diperbarui dengan UU Nomor 11 Tahun 2021, memiliki wewenang untuk menyidik tindak pidana tertentu seperti korupsi dan pelanggaran HAM berat. Meskipun demikian, gagasan untuk mencabut kewenangan ini terus mencuat, sering kali dipengaruhi oleh ego sektoral atau kepentingan pihak tertentu.
Mahkamah Konstitusi (MK), dalam putusan Nomor 28/PUU-V/2007, memberikan penegasan bahwa konstitusi tidak secara eksplisit mengatur bahwa penyidikan merupakan wewenang eksklusif Polri.
MK juga menegaskan bahwa Pasal 14 UU Kepolisian menjadi dasar bagi Polri untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, sedangkan Pasal 24 ayat (3) UUD NRI 1945 memberikan ruang bagi kejaksaan untuk memiliki fungsi penyidikan tertentu.
Prinsip Diferensiasi Fungsional dan Check and Balance
Dalam konteks pembagian wewenang, prinsip diferensiasi fungsional dan check and balance harus tetap menjadi pedoman. Kewenangan penyidikan yang tersebar di beberapa institusi, seperti Polri, Kejaksaan, KPK, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), justru mencerminkan upaya untuk menjaga integritas sistem hukum. Ketika koordinasi di antara lembaga berjalan efektif, maka kewenangan yang berbeda ini tidak akan menghambat penegakan hukum.
Sebaliknya, upaya menyeragamkan kewenangan penyidikan hanya pada Polri untuk tindak pidana umum dapat dipertimbangkan selama tidak mengganggu kewenangan khusus institusi lain. Penyidikan tunggal tidak boleh diterapkan secara gegabah karena berisiko menciptakan monopoli kekuasaan yang dapat menggerus kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.
Korupsi dan Tantangan Penegakan Hukum di Era Teknologi
Modus operandi kejahatan semakin berkembang seiring kemajuan teknologi informasi. Oleh karena itu, hukum harus mampu mengikuti perubahan ini. Institusi seperti KPK dibentuk dengan tujuan khusus untuk memberantas korupsi melalui pendekatan yang lebih fokus dan independen, tanpa menghilangkan peran Polri atau Kejaksaan.
Namun, penting untuk diingat bahwa penegak hukum, termasuk polisi, jaksa, dan hakim, harus tetap tunduk pada prinsip akuntabilitas. Mekanisme pengawasan, seperti praperadilan, telah menjadi instrumen penting untuk memastikan bahwa penetapan tersangka dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan bukti yang cukup.
Menuju Sistem Hukum yang Terintegrasi
Pembaruan KUHAP tidak seharusnya menjadi alat untuk menegasikan peran institusi tertentu, melainkan menjadi jalan untuk memperkuat sinergi di antara lembaga penegak hukum. Keberadaan kewenangan penyidikan yang tersebar justru dapat memperkuat sistem hukum, selama prinsip koordinasi, transparansi, dan akuntabilitas tetap dijaga.
Dalam menghadapi tantangan global dan nasional, kita harus mengedepankan semangat kolektif untuk menegakkan hukum demi kepentingan masyarakat luas. Hukum tidak boleh berjalan di belakang kenyataan. Sebaliknya, hukum harus mampu menjadi penggerak perubahan sosial yang adaptif terhadap kebutuhan zaman.
Diskursus tentang penyidikan tunggal atau kewenangan penyidikan khusus bukanlah hal baru. Namun, penting untuk menyadari bahwa fokus utama kita adalah memperkuat integritas penegakan hukum. Keberadaan berbagai lembaga penegak hukum dengan fungsi spesifiknya masing-masing adalah cerminan dari sistem demokrasi yang sehat. Oleh karena itu, reformasi hukum acara pidana harus diarahkan untuk mendukung harmonisasi, bukan menciptakan rivalitas di antara institusi penegak hukum. (P-01)
Oleh: Amir Ilyas
Guru Besar Ilmu Hukum