Agus Widjajanto. (Foto: Istimewa)

Antara Anyer – Panarukan, Tragedi dan Solusi

Komentar
X
Bagikan

Oleh: Agus Widjajanto
(Pemerhati Sosial, Buday, Hukum dan Politik)

JALAN Pantai Utara Jawa (Pantura) saat ini, yang membentang dari Anyer hingga Panarukan, antara Banten hingga ujung Jawa Timur wilayah Tapal Kuda, merupakan urat nadi perekonomian, penunjang utama tranportasion dalam urat nadi ekomoni beratus-ratus tahun, dari sebelum Indonesia ada yang masih bernama Hindia Belanda, hingga merdeka yang bernama Indonesia. Tumbuh menjadi kota-kota yang makmur disepanjang pantai, mulai dari Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Pati, Juwana, Rembang, Tuban, Bangil, Probolinggo hingga Banyuwangi. Tapi, apakah generasi sekarang tahu sejarah proses pembuatan jalan antara Anyer hingga Panarukan?

Pada saat Gubernur Jenderal Pemerintahan Hindia Belanda, dijabat oleh Herman Williem Daendels (1808-1811 Masehi), dicanangkan pembuatan jalan sepanjang 1100 Km., sebagai jalan pos jaga kepentingan militer Belanda untuk mengamankan pulau Jawa di pantai Utara dari serangan Inggris, dan kelancaran dalam menyampaikan informasi melalui dinas pos, dengan cara ‘kerja rodi’ atau kerja paksa kepada penduduk Bumi Putera di pulau Jawa, saat itu dilokasi antara Anyer hingga Panarukan. Banyak sekali korban meninggal dunia saat itu karena tidak digaji dan tidak diberikan makan dari penduduk pribumi atau yang saat itu disebut Golongan Bumi Putera, baik orang Sunda Banten, Sunda Kerawang, hingga Cirebon, Jawa baik Jawa Tengah hingga Jawa Timur sampai ujung wilayah Tapal Kuda saat ini, hingga ribuan orang jadi korban, dan itu adalah para pahlawan Kusuma Bangsa tanpa tanda jasa yang tidak dilabeli dan mendapat bintang pahlawan nasional.

Disamping sebagai jalan untuk pos jaga dan informasi cepat melalui darat untuk kepentingan informasi intelijen lewat pos, jalan Pantura saat itu juga untuk membangun pabrik persenjataan militer di Semarang dan Surabaya. Dan dikemudian hari, setelah jalan tersebut jadi dan setelah pemerintahan Hindia Belanda berhasil memadamkan Perang Jawa oleh Pangeran Diponegoro pada tahun 1830, maka untuk mengembalikan perekonomian Belanda saat itu yang bangkrut karena pembiayaan perang, diterapkan politik tanam paksa kepada masyarakat di Jawa untuk menanam komoditas tertentu yang bisa dijadikan eksport keluar negeri untuk menutup kas pemerintahan Hindia Belanda saat itu, dan itu berlangsung hingga kedatangan Jepang mendarat di Pulau Jawa dan Sumatra, pada tahun 1942.

Pada tahun 1890 politikus dalam Parlemen Belanda yang bernama C.Th. Van Deventer mengemukakan politik etis yang digunakan untuk menyelamatkan rakyat Bumi Putera/Kaum Pribumi agar pemerintah kolonial Hindia Belanda, melakukan politik balas budi atas ekploitasi baik alam maupun sumberdaya rakyat di wilayah kolonial Hindia Belanda, dengan cara membangun irigasi, bendungan untuk pertanian rakyat dan mendirikan sekolah-eekolah, dan mengirim para anak-anak bangsawan Jawa ke Belanda untuk bisa menjadi sarjana. Hal itu adalah berkat jasa dari C.Th. Van Deventer, seorang ahli hukum dan sosiologi serta politikus muda Belanda yang melihat secara langsung kondisi masyarakat di kolonialisasi Hindia Belanda saat itu. Dan dari sinilah mulai para pemuda Bumi Putera, baik Jawa, Sumatera, Kalimantan, Ambon (Maluku), Ende (Nusa Tenggara Timur/NTT), sedikit demi sedikit bersekolah dan menjadi sarjana, yang nanti merupakan cikal bakal penggerak Indonesia dalam Sumpah Pemuda 1928, yang diwakili oleh Jong Jawa Jong Ambon Maluku, Jong Sumatera, Jong Sulawesi, dan tidak ada tercatat satu pun perwakilan dari golongan Timur asing yang saat itu merupakan golongan kedua setelah Eropa yang diciptakan oleh enguasa Hindia Belanda di Indonesia, dan dari kaum terpelajar inilah -baik yang sekolah di Batavia, hingga Bandung serta lulusan negeri Belanda-,=sebagai motor dinamisator penggerak hingga Indonesia merdeka pada tahun 1945.

Penderitaan rakyat belum berakhir, dimana pada tahun 1942, masuknya militer Jepang ke Hindia Belanda, rakyat masih juga dipaksa kerja paksa untuk membangun jalan dan jalur pangan untuk kepentingan pertahanan militer Jepang, yang dikenal dengan Romusha, yang korbannya mencapai puluhan ribu orang karena kelaparan, dimana tragedi kemanusiaan saat itu jangan dibayangkan ada Komisi Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM, lewat PBB maupun LSM swasta yang kerap dibiayai asing untuk menyuarakan Demokrasi dan HAM, belum lahir dan belum ada itu, yang disebut masa kegelapan dalam sejarah bangsa, dalam perputaran Tjokro Manggilingan (perputaran kejayaan dan proses sebuah bangsa melalui siklus waktu) yang pada akhirnya mentari terbit juga dari Timur saat menjelang bulan Juni 1945, hingga Indonesia merdeka setelah menyerahnya Jepang kepada Sekutu.

Setelah Indonesia merdeka, jalan aya antara Anyer hingga Panarukan menjadi jalan paling menentukan dalam memberikan kontribusi pertumbuhan perekonomian di Jawa, hingga dibangunnya jalan tol Trans Jawa oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), dan peran jalan Anyer Panarukan tetap paling dominan di pulau Jawa, baik dari aspek pariwisata maupun dari aspek ekonomi dan keamanan negara. Indah saat ini, merupakan hasil pengorbanan dari rakyat dan pahlawan Kusuma Bangsa yang tak pernah dilabeli dan diberikan status Pahlawan atas pengorbanan mereka dalam membangun jalan tersebut dan hal ini agar bisa menjadi pembelajaran generasi muda agar jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah) agar sejarah bangsa kalian tidak dimanipulasi oleh bangsa lain sebagai upaya melakukan penjajahan secara modern (Neo Kolonialisme), baik melalui budaya maupun Agama, dengan cara menghilangkan jejak sejarah nenek moyang kalian dimasa lalu agar tidak ada lagi rasa kebanggaan terhadap leluhurmu, itu cara lama tapi gaya baru, hingga banyak saudara-saudara kita yang mabuk hingga hilang percaya diri, karena kebodohan dari diri kita sendiri, jangan lah mengalami kemunduran dalam pola pikir dan kecerdasan, sebagai anak bangsa harus punya visi misi pola pikir lebih baik dari generasi pendobrak 1945 saat merdeka dan seharusnya lebih cerdas dan lebih baik dari generasi Wali Songo pada abad ke 14 Masehi, saat membangun peradaban baru di Nusantara, melalui budaya Asli Nusantara, dengan tata cara adat Nusantara, dengan pakaian yang berciri khas Nusantara. Oh indah nya, inilah trade mark nya Indnesia, bukan mengadopsi pakaian yang berciri dari budaya bangsa lain, sangat menyedihkan. Ismail Marjuki menciptakan lagu lagu yang menggugah rasa nasionalisme, dengan ciri khas Indonesia, para wanitanya cantik-cantik dengan gaya khas Nusantara yang memberikan kesan oh ini wanita Indonesia, sangat luar biasa ya? Kecantikannya memancar keluar, bukannya justru ditutupi hingga hilang ke-Indonesiaan-nya.

Mari kita isi kemerdekaan ini dengan keadilan kemakmuran dan tidak pernah kehilangan jati diri sebagai bangsa, yang punya Ruh ke-Indonesia-an, untuk mencapai masyarakat adil makmur, Gemah Ripah Loh Jinawi, toto tentrem Kerto Raharjo. ***

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *