JAKARTA, PARLE.CO.ID – Meski diakui kalau media sosial (medsos) memiliki manfaat besar bagi dunia pendidikan, seperti mendukung pembelajaran daring dan pengembangan karakter anak, namun pengaruh buruknya juga tidak bisa diabaikan. Untuk itu, pemerintah tengah menyusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang Tata Kelola Perlindungan Anak di Ranah Digital, yang akan mengatur batasan usia anak dalam memiliki akun media sosial serta meningkatkan tanggung jawab platform digital dalam melindungi anak dari konten berbahaya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan berbicara dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema “Menjaga Dunia Pendidikan dari Pengaruh Negatif Media Sosial” di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (3/3/2025) menegaskan pentingnya perlindungan anak dari dampak negatif media sosial.
Menurut Kawiyan, dengan internet, anak-anak dari berbagai latar belakang ekonomi dapat belajar bahasa asing, mengakses informasi, hingga mengikuti kursus daring secara gratis. Selain itu, saat pandemi Covid-19, teknologi digital memungkinkan pendidikan jarak jauh tetap berlangsung.
“Media sosial berperan penting dalam proses belajar-mengajar dan pembentukan karakter anak. Namun, dampak negatifnya juga harus diantisipasi,” ujarnya.
PP untuk Lindungi Anak di Ranah Digital
Dalam upaya melindungi anak dari bahaya dunia digital, pemerintah saat ini tengah menyusun PP tentang Tata Kelola Perlindungan Anak di Ranah Digital, dimana regulasi ini digagas oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) dan sedang dalam tahap pembahasan. Salah satu poin utama dalam aturan ini adalah pengetatan syarat kepemilikan akun media sosial bagi anak-anak.
Saat ini, diakui Kawiyan, masih banyak anak di bawah usia 13 tahun yang memiliki akun media sosial menggunakan identitas orang tua. Nantinya, regulasi ini akan mengatur proses verifikasi yang lebih ketat, di mana platform media sosial seperti Facebook, Instagram, YouTube, dan TikTok wajib memastikan usia pengguna dengan mengonfirmasi data ke orang tua.
“Kalau regulasi ini disahkan, anak yang ingin membuat akun media sosial harus melalui proses verifikasi ketat. Orang tua akan dihubungi untuk memastikan usia anak sesuai dengan persyaratan,” jelasnya lagi.
Selain itu, masih menurut dia, PP ini juga akan mengatur tanggung jawab dan kewajiban platform media sosial dalam menjaga keamanan anak. Nantinya, platform digital wajib menerapkan larangan tertentu serta mekanisme perlindungan bagi anak.
“Dan, tentunya termasuk penghapusan konten berbahaya dan pengawasan lebih ketat terhadap interaksi online,” imbuhnya.
Meskipun media sosial dapat menjadi sarana belajar yang efektif, dampak negatifnya tidak bisa diabaikan. Kawiyan mengungkapkan bahwa banyak anak menjadi korban eksploitasi di ranah digital, baik dalam bentuk perundungan siber (cyberbullying), penyebaran konten pornografi, penipuan daring, hingga perdagangan anak.
Ia mencontohkan kasus eksploitasi anak melalui media sosial, seperti penipuan dengan modus asmara (love scam), di mana pelaku berpura-pura membangun hubungan dekat dengan anak untuk kemudian memanipulasi mereka. Ada pula kasus anak yang menjadi korban prostitusi daring setelah terjebak dalam komunitas tertentu di media sosial.
Data KPAI menunjukkan bahwa pada 2023 dan 2024, kasus kekerasan terhadap anak di ranah digital menempati peringkat keempat setelah kekerasan seksual dan fisik. Bahkan pada 2023, kasus ini sempat naik ke posisi ketiga.
“Korban di ranah digital sudah banyak. Anak-anak bisa menjadi korban perundungan, perjudian online, hingga eksploitasi seksual. Oleh karena itu, regulasi ini perlu segera disahkan agar ada payung hukum yang jelas untuk melindungi mereka,” tegas Kawiyan. ***