Masa Sidang Berikutnya Jadi Titik Awal Pembahasan
JAKARTA, PARLE.CO.ID — DPR melalui Komisi III bersama Pemerintah bersiap membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Langkah ini menyusul diterimanya Surat Presiden (Surpres) yang telah ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada Kamis (20/3/2025). Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, memastikan draf final RUU KUHAP telah siap untuk digulirkan.
Pembahasan resmi diperkirakan baru dimulai pada masa sidang berikutnya, setelah DPR memasuki masa reses pekan depan. Habiburokhman optimistis proses revisi ini tidak akan memakan waktu lama karena jumlah pasal yang direvisi relatif sedikit. “Target kami, paling lama dua kali masa sidang. Kalau memungkinkan, satu masa sidang saja sudah selesai dan kita punya KUHAP baru,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Urgensi Revisi dan Penyelarasan dengan KUHP Baru
Revisi UU KUHAP dinilai mendesak untuk menyesuaikan aturan hukum acara pidana dengan perkembangan zaman. UU yang telah berlaku sejak 1981 ini perlu diperbarui agar sejalan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan efektif berlaku pada Januari 2026. Menurut Habiburokhman, RUU KUHAP akan mengusung pendekatan restorative justice, restitutif, dan rehabilitatif untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih adil.
“Salah satu poin penting adalah bab khusus tentang restorative justice. Mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga persidangan, semuanya bisa diselesaikan dengan pendekatan ini,” jelasnya. Selain itu, revisi ini juga akan mengatur pencegahan kekerasan dalam proses hukum, seperti pemasangan CCTV pada tahap pemeriksaan.
Fokus pada Hak Kelompok Rentan dan Peran Advokat
RUU KUHAP juga akan memperkuat perlindungan terhadap kelompok rentan, termasuk perempuan, difabel, dan lansia, serta memperjelas hak-hak mereka dalam proses hukum. Peran advokat juga akan diperkuat sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas peradilan pidana. Tak hanya itu, syarat penahanan akan diperketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang sebelum proses persidangan.
Habiburokhman menegaskan, kewenangan aparat penegak hukum seperti Polri sebagai penyidik utama dan jaksa sebagai penuntut tunggal tidak akan berubah. “Tidak ada pergeseran kewenangan dalam sistem peradilan pidana,” tegasnya.
Partisipasi Publik Diundang dalam Proses Revisi
Dalam menyusun RUU ini, Komisi III DPR berkomitmen membuka ruang partisipasi publik. Masyarakat diundang untuk memberikan masukan, dan akses terhadap draf RUU akan dibuat transparan. “Kami minta sumbang saran pikiran terkait KUHAP ini,” tambah Habiburokhman.
Dengan langkah ini, revisi UU KUHAP diharapkan tidak hanya memperbarui sistem hukum acara pidana, tetapi juga mencerminkan keadilan yang lebih humanis dan sesuai kebutuhan masyarakat modern. (P-01)