JAKARTA, PARLE.CO.ID – Revisi Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), kembali menjadi sorotan, terutama terkait status hukum ojek online (ojol) dan hak-hak pengemudinya, termasuk Tunjangan Hari Raya (THR). Dalam Forum Legislasi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (11/3/2025), pengamat transportasi Darmaningtyas menegaskan bahwa aplikator harus bertanggung jawab dalam memberikan THR kepada driver ojol.
Dia menjelaskan bahwa sejak awal pembahasan UU LLAJ tahun 2009, keberadaan ojek sebagai transportasi umum sudah menjadi perdebatan. Namun, saat itu pemerintah memilih untuk tidak memasukkannya dalam regulasi karena sepeda motor dianggap bukan moda transportasi umum yang aman dan layak.
“Dulu, harapannya pemerintah daerah akan membangun sistem transportasi umum yang baik, sehingga ojek hanya menjadi solusi sementara. Tapi kenyataannya, transportasi umum di banyak daerah tidak berkembang, dan ojek online justru menjadi pilihan utama masyarakat,” ungkapnya.
Menurutnya, kebutuhan akan payung hukum untuk ojol baru muncul setelah para pengemudi mengalami penurunan pendapatan. Pendapatan ojol disebutnya mencapai puncaknya pada 2016-2017, lalu menurun drastis sejak 2018 hingga sekarang.
Konsekuwensi Ojol Diatur UU
Darmaningtyas juga menyoroti konsekuensi jika ojol diatur dalam undang-undang, yang mana di satu sisi pengaturan ini akan memberikan kepastian hukum dan memungkinkan pemerintah mengontrol jumlah dan pergerakan ojol. Namun, di sisi lain, regulasi ini juga berisiko melegitimasi sepeda motor sebagai transportasi umum, padahal 70% kecelakaan lalu lintas melibatkan kendaraan roda dua.
Selain itu, ia menegaskan bahwa aplikator memiliki kewajiban moral dan bisnis untuk memberikan THR kepada driver ojol. Masih menurut dia, ada tiga alasan utama. Pertama, aplikator sudah memperoleh keuntungan dari jumlah driver yang besar.
Kedua, setiap hari ada jutaan transaksi yang mereka kapitalisasi. Ketiga, dana yang mengendap dari pembayaran digital juga memberikan keuntungan besar bagi mereka.
“Dengan keuntungan sebesar itu, memberikan THR sesuai UMP bukanlah hal yang memberatkan,” tegas Darmaningtyas seraya menambahkan bahwa meskipun hubungan antara aplikator dan driver disebut ‘kemitraan’, dalam praktiknya driver tetap menjadi pihak yang bergantung pada kebijakan perusahaan.
Oleh karena itu, ia menilai bahwa bisnis yang baik seharusnya berbagi keuntungan dengan mereka yang turut berkontribusi dalam kesuksesan perusahaan. Dengan revisi UU LLAJ ini, diharapkan tidak hanya status hukum ojol yang diperjelas, tetapi juga perlindungan bagi para pengemudi, termasuk hak mendapatkan THR dan kebijakan tarif yang lebih adil. ***