JAKARTA, PARLE.CO.ID — Pemerintah kini tengah mempertimbangkan penggunaan aset rampasan dari terpidana korupsi untuk mendukung program pembangunan tiga juta rumah. Namun, keputusan akhir terkait pemanfaatan lahan tersebut berada di tangan Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).
Kepala Badan Pemulihan Aset (BPA) Kejaksaan Agung, Amir Yanto, menegaskan bahwa pihaknya hanya bertugas mengelola barang bukti, barang sita eksekusi, serta barang rampasan.
“Terkait penggunaan lahan tanah barang rampasan negara untuk pembangunan tiga juta rumah, keputusan memungkinkan tidaknya menjadi kewenangan DJKN Kemenkeu, karena pada dasarnya semua aset negara menjadi tanggung jawab DJKN Kemenkeu,” ujar Amir dalam pernyataannya di Jakarta pada Rabu, 29 Januari 2025.
Proses Hukum hingga Aset Berstatus Milik Negara
Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak), Pujiyono Suwadi, mengingatkan bahwa aset hasil tindak pidana baru bisa digunakan oleh negara setelah adanya putusan hukum yang berkekuatan tetap (inkrah). Proses hukum hingga mencapai status inkrah memerlukan waktu dan bisa berlarut-larut jika terdakwa atau penuntut umum mengajukan banding atau kasasi.
“Status inkrah bisa lahir dalam putusan pengadilan tingkat pertama, tetapi masih bisa digugat jika ada pihak yang keberatan,” jelas Pujiyono.
Sementara itu, BPA Kejaksaan Agung memiliki kewenangan dalam menelusuri, merampas, dan mengembalikan aset hasil tindak pidana sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Setelah inkrah, aset tersebut bisa dilelang dan hasilnya diserahkan ke negara melalui Kementerian Keuangan. Alternatif lainnya, aset bisa langsung dialihkan ke negara sesuai putusan pengadilan.
Pemanfaatan Aset untuk Proyek Pemerintah
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai bahwa tanah hasil rampasan dari koruptor dapat digunakan untuk program tiga juta rumah asalkan putusan pengadilan telah inkrah. Ia juga menekankan bahwa Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani memiliki kewenangan untuk menetapkan penggunaan aset negara untuk proyek tersebut, dengan syarat mendapat persetujuan dari DPR.
“Dengan catatan, program ini harus mendapatkan persetujuan DPR sebelum bisa direalisasikan,” ujar Fickar.
Tantangan dalam Implementasi
Meskipun ide pemanfaatan aset koruptor untuk proyek nasional ini terdengar menjanjikan, terdapat beberapa tantangan yang harus diselesaikan, seperti proses hukum yang panjang, mekanisme pelelangan atau peralihan aset, serta koordinasi antar-lembaga pemerintah.
Keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah, terutama DJKN Kemenkeu, yang akan menentukan apakah aset tersebut dapat langsung digunakan atau harus melalui proses lain sebelum dimanfaatkan dalam program tiga juta rumah. (P-01)