Oleh: Agus Widjajanto (Praktisi Hukum dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya, Hukum, Politik, dan Sejarah)
KEJAYAAN Kesultanan Usmaniah, yaitu dinasti Ottoman Turki Usmani pada abad pertengahan, yang berhasil menguasai wilayah Balkan dan menaklukkan kota Konstantinopel, ibukota Bizantium atau wilayah Romawi Timur, adalah sebuah alur sejarah yang dapat dijadikan pembelajaran bagi generasi saat ini dalam menapaki perjalanan sejarah bangsa ke depan.
Banyak sekali hubungan sejarah yang mengaitkan penyebaran Islam ke Jawa dan Nusantara dengan Dinasti Ottoman Turki Usmani. Pada abad ke-14, Sultan Murad II mengutus seorang ulama ahli hikmah, yang dikenal di tanah Jawa sebagai Syeh Subakir. Nama aslinya adalah Syaikh Tambuh Aly bin Syaikh Baqir, seorang ulama asli Persia yang diutus oleh Kesultanan Ottoman untuk memperluas pengaruh budaya dan penyebaran agama ke wilayah Timur, yaitu Asia Tenggara. Di Jawa, beliau disebut sebagai utusan dari negara Rum, yang maksudnya adalah Penguasa Romawi Timur, Ibukota Bizantium, Konstantinopel.
Kisah dinasti Ottoman yang paling legendaris adalah penaklukan kota Konstantinopel, ibukota Bizantium Timur (Wilayah Romawi Timur). Sultan Mehmed II, yang bergelar Al-Fatih (Sang Pembebas), lahir di Edirne, Thrace, pada tanggal 30 Maret 1432 Masehi. Beliau adalah putra keempat dari penguasa Ottoman, Raja Murad II, dan ibunya bernama Huma Valide Hatun. Sesuai tradisi kerajaan saat itu, pada usia 12 tahun, Mehmed II dikirim ke Manisa, sebuah kota di wilayah Ottoman, dengan didampingi dua orang guru ternama: Aksemsedin yang mengajarkan bahasa, seni, filsafat, teknik perang, dan tata kelola pemerintahan.
Pada tahun 1444 Masehi, Raja Murad II menandatangani perjanjian perdamaian penting untuk menghentikan pertempuran antara Turki dan Hongaria. Salah satu syaratnya adalah Raja Murad II harus menyerahkan tahta kepada anaknya yang masih kecil, yakni Mehmed II, yang saat itu berusia 17 tahun dan duduk di tahta Edirne, ibukota Ottoman. Setelah itu, Mehmed II muda harus menghadapi kerusuhan internal antara dua kelompok yang bersaing, masing-masing mengklaim melindungi hak-hak sultan. Namun, pada kenyataannya, kedua kelompok itu justru bersaing untuk memanfaatkan sultan muda untuk kepentingan mereka.
Ditambah lagi, setelah dinobatkan, Hongaria mengingkari perjanjian perdamaian dengan Raja Murad II. Bersama sekutunya, mereka kembali menyerang Ottoman. Untuk menanggulangi serangan ini, Raja Murad II dipanggil kembali untuk naik tahta, dan setelah berhasil memadamkan situasi perang salib tersebut, pada tanggal 18 Februari 1451, kekuasaan kembali diserahkan kepada Mehmed II yang saat itu berusia 19 tahun.
Sejak muda, Mehmed II sudah memiliki keinginan kuat untuk menguasai kota Konstantinopel, ibukota Bizantium, yang letaknya sangat strategis, berada di perbatasan antara Eropa dan Asia serta diapit oleh selat yang sangat penting. Konstantinopel merupakan benteng yang sangat kuat, terkenal dengan tembok Theodosian yang telah 23 kali diserang tanpa berhasil dikuasai.
Strategi Perang Sultan Mehmed II
Sultan Mehmed II, yang disebut juga dengan nama Al-Fatih (Sang Pembebas Kota Konstantinopel), merupakan seorang raja muda yang pada saat menyerbu kota Konstantinopel mengerahkan pasukan khusus Janissari dan teknologi meriam besar yang belum pernah terpikirkan pada masa itu. Teknologi meriam tersebut digunakan untuk menembus tembok Theodosian yang sangat kuat, yang sebelumnya tidak dapat ditembus. Pada tahun 1453, Mehmed II mengerahkan sekitar 80.000 tentara dan 320 kapal perang kecil untuk mengepung Konstantinopel. Di antara kapal-kapal tersebut, 70 kapal berhasil melintasi selat Golden Horn (Tapal Kuda), yang sebelumnya dipasang jaring rantai besi raksasa agar kapal yang lewat bisa pecah dan karam. Sultan Mehmed II menggunakan strategi cerdas untuk memindahkan kapal-kapal tersebut melewati hutan, kemudian ditarik oleh kuda untuk diluncurkan di seberang dan melintasi selat, langsung mengepung tembok benteng kota Konstantinopel. Strategi ini merupakan taktik yang tidak pernah terpikirkan oleh jenderal Romawi pada masa itu.
Strategi perang Sultan Mehmed II juga tak lepas dari peran ibunya, Mara Brankovic, yang merupakan penasihat pribadi dan sekaligus ibu yang mendidik serta mendampingi Mehmed muda hingga menjadi raja. Mara Brankovic adalah istri dari Sultan Murad II dan putri dari Despot Serbia, Durad Brankovic. Dalam sejarah Majapahit, peran Mara Brankovic bisa disamakan dengan Ratu Gayatri, istri dari Raja Raden Wijaya, yang juga berperan sebagai penasihat serta guru dari Maha Patih Gajah Mada.
Setelah penaklukan Konstantinopel oleh Mehmed II (Al-Fatih) dari Dinasti Ottoman, kota tersebut kemudian dijadikan ibukota Turki, yang pada akhirnya beralih nama menjadi Ankara.
Pembelajaran yang dapat diambil dari sejarah ini adalah bahwa seorang pemimpin tidak bisa hanya dinilai dari faktor usia, baik muda maupun tua. Kepemimpinan lebih menyangkut naluri dan bakat, serta misi dan visi yang baru untuk masa depan, yang didukung oleh penasihat yang handal dan cerdas. Pemimpin yang berani mengambil risiko dalam mengambil kebijakan, meski kadang tidak populer, akan mencatatkan sejarah sebagai pemimpin besar. Sultan Mehmed II adalah contoh nyata bahwa keberanian dan keyakinan dalam mengambil keputusan, di tengah kondisi sulit, akan membawa kemenangan gemilang.
Demikian pula, harapan untuk bangsa ini ada di pundak kalian, para generasi muda, untuk membuat gebrakan perubahan demi kemajuan bangsa dan negara. ***