JAKARTA, PARLE.CO.ID — Kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% memicu respons keras dari berbagai kalangan. Salah satu suara yang lantang mengkritisi kebijakan ini adalah anggota DPD Hilmy Muhammad, yang akrab disapa Gus Hilmy.
Dikutip dari balipuspanews, Minggu (22/12/2024) Gus Hilmy mendesak pemerintah untuk segera mengkaji ulang keputusan tersebut. Ia menilai kebijakan ini sangat memberatkan masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.
“Kebijakan PPN 12% harus segera ditinjau kembali. Jangan menunggu gelombang protes semakin besar. Kebijakan ini menjadi beban berat bagi masyarakat yang sudah cukup tertekan,” tegas Gus Hilmy.
Pentingnya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
Menurut Gus Hilmy, salah satu akar permasalahan dalam pengambilan kebijakan seperti ini adalah ketiadaan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ia menilai GBHN akan memberikan panduan jangka panjang yang berpihak kepada rakyat, menghindari kebijakan dadakan yang justru merugikan.
“Inilah darurat GBHN! Dengan adanya GBHN, kebijakan negara akan dirancang untuk jangka panjang dan mengutamakan kepentingan rakyat. Tanpa itu, kita hanya akan terus dihadapkan pada kebijakan kejutan setiap lima tahun sekali, yang kerap kali tidak memihak rakyat,” jelasnya.
Gus Hilmy juga menyoroti bahwa tanpa GBHN, biaya politik setelah Pilpres cenderung membengkak. Hal ini terlihat dari pembentukan kabinet yang gemuk dan lembaga baru yang dinilai kurang relevan.
“GBHN juga akan membantu mengurangi biaya politik pasca-Pilpres. Kabinet yang gemuk dan pembentukan lembaga-lembaga yang tidak mendesak menjadi beban anggaran yang akhirnya dibebankan kepada rakyat,” katanya.
Beban Anggaran dan Solusi Alternatif
Di tengah protes publik terhadap kenaikan PPN, Gus Hilmy menyoroti penambahan pejabat kementerian dan lembaga yang justru meningkatkan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini, menurutnya, menunjukkan ketidakefisienan anggaran.
“Di saat protes masyarakat terhadap PPN meningkat, kementerian dan lembaga justru sibuk melantik pejabat baru. Ini jelas menambah beban APBN, yang akhirnya harus ditanggung rakyat,” ujar Katib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut.
Meski memahami kebutuhan anggaran untuk mendukung berbagai program pemerintah seperti ketahanan pangan dan gizi masyarakat, Gus Hilmy menilai pemerintah seharusnya mencari sumber pendapatan lain tanpa membebani rakyat.
“Pemerintah tentu membutuhkan anggaran besar untuk program-program strategis. Namun, apakah harus selalu rakyat yang dibebani? Kita memiliki sumber daya alam melimpah, tapi justru sering kali disalahgunakan,” katanya.
Ia mengingatkan agar pemerintah lebih tegas dalam memberikan sanksi kepada pengemplang pajak dan mengatasi praktik penyelundupan yang merugikan negara.
Kepercayaan Publik sebagai Fondasi Kebijakan
Gus Hilmy menekankan bahwa pemerintah harus terlebih dahulu menunjukkan prestasi nyata sebelum mengambil kebijakan yang berisiko tinggi. Menurutnya, penghematan anggaran dan tindakan nyata terhadap pengemplang pajak adalah langkah penting untuk membangun kepercayaan publik.
“Sebelum menaikkan pajak, pemerintah harus menunjukkan komitmen penghematan yang jelas, bukan sekadar himbauan. Selain itu, sanksi tegas terhadap pengemplang pajak besar harus menjadi contoh nyata bagi masyarakat,” tegasnya.
Ia berharap pemerintah dapat lebih bijak dalam mengambil keputusan, sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak hanya berpihak pada segelintir pihak, tetapi benar-benar mendukung kesejahteraan rakyat.
Dengan GBHN sebagai panduan, Gus Hilmy yakin Indonesia dapat memiliki arah pembangunan yang lebih konsisten dan berpihak kepada kepentingan nasional. Hal ini, menurutnya, akan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan mengurangi beban ekonomi yang saat ini dirasakan oleh rakyat. (P-01)