JAKARTA, PARLE.CO.ID — BRICS adalah akronim dari Brasil, Rusia, India, China dan South Africa (Afrika Selatan). Ini merupakan perhimpunan dari lima negara yang bertujuan memperkuat kerja sama di antara negara-negara anggotanya untuk perdamaian dan kesejahteraan bersama.
Akronim BRIC sendiri diperkenalkan oleh Jim O’neill pada tahun 2001, kepala ekonom Goldman Sachs pada masa itu, yang pada gilirannya mendorong berhimpunnya Brasil, Rusia, India, dan China untuk menjadikan akronim ini menjadi nama perhimpunan mereka. Belakangan di tahun 2010, Afrika Selatan bergabung ke dalam wadah perhimpunan ini.
Di tahun 2001, Jim O’neill menuliskan dalam makalahnya mengenai perkembangan ekonomi yang cepat dari Brasil, Rusia, India, dan China yang pada gilirannya akan menjadi kompetitor bagi dominasi negara-negara anggota G7 (Group Of Seven). Jim 0’neill kemudian mengusulkan di dalam makalahnya agar negara-negara kelompok G7 mengajak dan memasukan negara-negara itu ke dalam kelompok G7, demi menghindari kompetisi yang berpotensi mengubah lanskap tata ekonomi dunia.
Identifikasi dini O’neil terhadap perkembangan aspirasi dari negara-negara BRIC ini dalam kancah ekonomi dunia, nampaknya memang akurat. Belakangan, pengaruh dari perhimpunan ini dalam percaturan dunia internasional terus meningkat. Bisa dikatakan, secara bertahap pengaruhnya hampir menyamai perhimpunan G7.
Kekuatan utama dari negara-negara anggota BRICS terletak dalam tiga aspek. Pertama, kombinasi GDP (gross domestic product) lima negara anggotanya plus negara-negara yang belakang bergabung di tahun 2024 mencapai 35% dari total GDP dunia. Sementara kombinasi GDP negara- negara G7 berkisar 30% GDP dunia.
Aspek kedua, kombinasi populasi penduduk dari negara-negara anggota BRICS mencapai 45% dari populasi dunia. Jauh di atas kombinasi populasi negara-negara G7 yang hanya 10% dari populasi dunia.
Aspek ketiga, 25% dari total transaksi perdagangan internasional dikuasai oleh negara-negara anggota BRICS. Dalam beberapa aspek yang berkaitan dengan penguasaan teknologi dan inovasi kritis juga didominasi oleh negara-negara anggota BRICS. Selain itu, proporsi penguasaan terhadap komoditi kritis dunia, baik itu berupa kekayaan mineral maupun ketersediaan sumber pangan dunia juga sangat besar dan berpengaruh.
Menurut kami, keinginan yang kuat dari negara-negara anggota BRICS untuk menata ulang tata keuangan global merupakan aspek strategis yang patut diperhatikan. Salah satu fokus utama dari BRICS dalam aspek ini adalah, upayanya untuk mencapai kesepakatan dalam hal penggunaan sistem pembayaran transaksi lintas negara yang bisa menjadi alternatif bagi penggunaan sistem SWIFT dan dikontrol oleh G7, khususnya Amerika Serikat.
Dengan kombinasi tiga aspek yang merupakan keunggulan kompetitif BRICS, kesepakatan mereka untuk menciptakan sistem pembayaran lintas negara, merupakan faktor pengubah dalam konstelasi ekonomi dunia, dan tentu saja geopolitik dunia.
Kehadiran sistem pembayaran antarnegara yang menjadi alternatif sistem SWIFT, akan menciptakan dualitas tata keuangan dan moneter dunia. Dampaknya akan sangat luas, struktural dan sistemik. Pertama, dampaknya terhadap sistem moneter dunia. Sejak perang dunia kedua dan sejak sistem uang fiat diperkenalkan menggantikan sistem bretton woods berbasis emas, dominasi dolar Amerika Serikat tidak tergantikan hingga saat ini.
Struktur neraca bank sentral berbagai negara, terutama struktur devisanya sangat terpengaruh oleh dinamika US dolar. Alasan US dolar menjadi sangat kuat bukan hanya karena ditopang oleh kuatnya ekonomi AS. Tetapi merupakan hasil kombinasi antara, kekuatan ekonomi AS, dominasi US dolar dalam transaksi ekonomi lintas negara, dan monopolinya terhadap sistem pembayaran dunia (SWIFT system).
Inisiatif BRICS yang dimotori China untuk menghadirkan alternatif bagi SWIFT tentu akan mengubah semua ini, cepat atau lambat. Tentu dengan catatan bahwa BRICS pun mampu menyepakati mengenai jenis mata uang yang akan mereka pergunakan di dalam sistem pembayaran yang baru itu.
Kedua, dampaknya terhadap tata perdagangan dunia. Ini menjadi perbincangan serius di kalangan ahli ekonomi. Hal yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah dengan dualitas sistem pembayaran dunia yang mungkin saja terjadi itu, pada ujungnya juga akan kemudian menciptakan dualitas tata perdagangan dunia?
Dalam skenario terburuk perbincangan ini, para ekonom mengingatkan kemungkinan terbentuknya fenomena “decoupling of economic activity“ (keterpisahan antara dua tata aktivitas ekonomi). Di mana secara bertahap negara-negara dalam menjalankan aktivitas ekonominya memilih untuk memperbesar volume ekonomi hanya pada satu sistem atau kelompok ekonomi, dan mengurangi secara drastis eksposurnya terhadap perekenomian negara yang tidak bergabung dengan sistem atau kelompok yang diikuti.
Belum lagi ditambah fakta akhir-akhir ini, di mana kompetisi antara sebagian negara-negara BRICS dan G7 memang sangat intens. Dalam banyak hal, tidak hanya terjadi di sektor ekonomi, tapi juga meluas kepada aspek politik, dan keamanan dunia. Skenario terburuk ini tentu sebijaknya dihindari. Karena itu, diperlukan upaya yang tepat dan matang dari para pemimpin negara untuk mengatasi ini.
Hendak kami tekankan di sini adalah, sisi besarnya kemungkinan terbentuknya dualitas sistem ekonomi, bukan atas dasar ideologi ekonomi seperti di masa lalu, dimana kapitalisme blok Barat berhadapan dengan komunisme blok Timur. Melainkan dualitas berdasarkan sistem pembayaran yang mendasari lalu lintas perekonomian dunia.
Dampaknya yang ketiga, juga akan terasa di sektor keuangan dunia. Baru-baru ini HSBC mengumumkan untuk mulai menggunakan CIPS (cross border interbank payment system) yang dimiliki oleh China. HSBC merupakan bank internasional pertama yang menggunakan CIPS di luar bank-bank China. HSBC memiliki aset sebesar US$3,038 trilliun dan beroperasi di lebih dari 60 negara. Seiring dengan perjalanan waktu, akan makin banyak perbankan global yang karena eksposurnya terhadap perekonomian BRICS akan turut menggunakan sistem ini.
Pasar utang global juga demikian. Dapat diasumsikan bahwa kesepakatan BRICS dalam hal sistem pembayaran lintas negara akan memengaruhi pasar utang dunia. Sampai tahun 2023, total utang dunia mencapai US$307 trilliun.
US dolar merupakan mata uang dominan dalam pasar/kontrak hutang dunia. Menurut satu studi yang dirilis oleh Bank of International Settlement (BIS) berjudul “Dominant Currency Debt” (Egemon Eren dan Semyon Malamud, 28 Maret 2022) dominasi US dolar ini bukan merupakan keinginan investor, melainkan didorong oleh keperluan peminjam untuk melindungi peminjam dari risiko nilai tukar jangka panjang.
Nampaknya, dengan berbagai perkembangan politik dan keamanan dunia akhir-akhir ini, upaya untuk mengurangi dominasi dolar sebagai “dominant currency debt“ akan terus berlanjut. Mata uang selain US dolar makin sering dipergunakan sebagai denominator hutang.
Patut dicatat negara-negara BRICS akhir-akhir ini semakin memainkan peran penting dalam pasar utang dunia. China merupakan investor utama di pasar utang dunia. Rusia dalam skala yang lebih kecil juga memainkan peran penting di pasar utang negara-negara di Asia Tengah dan sebagian negara yang sedang bergejolak di Afrika. Demikian pula India yang makin aktif dalam memfasilitasi kontrak utang dunia.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina, yang kemudian disikapi oleh negara-negara barat, khususnya Amerika Serikat, dengan memberikan sanksi ekonomi berupa pembekuan devisa Rusia, banyak negara-negara di dunia yang makin khawatir terhadap monopoli sistem pembayaran dunia oleh Amerika Serikat.
Menilik itu semua, pilihan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS merupakan pilihan tepat yang patut didukung. Sebagaimana lazimnya dalam berbagai even dunia, akan selalu ada reaksi balik dari negara-negara Barat terhadap pilihan Indonesia ini. Terutama karena bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS akan makin memperkuat fondasi kekuatan kompetitif dan daya tawar BRICS.
Indonesia dengan kemungkinan masa depan perekonomiannya yang cerah memang mesti cermat dalam menyikapi perkembangan lanskap perekonomian dunia. BRICS menawarkan masa depan aliansi ekonomi yang menguntungkan bagi Indonesia. Tinggallah kini upaya-upaya diplomatik Indonesia guna meyakinkan negara-negara pendiri BRICS untuk terbuka dan mempercepat proses inklusi Indonesia. Semoga. (P-01)
Oleh: Bambang Soesatyo dan Andi Rahmat/Koordinator Wakil Ketua Umum Bidang Politik, Pertahanan dan Keamanan Kadin Indonesia