JAKARTA, PARLE.CO.ID – Rapat Paripurna DPD RI beberapa waktu lalu, sempat ricuh dan diwarnai beragam dinamika, serta perdebatan argumentasi, hingga diantaranya muncul perkataan ‘pengacau’ dari Ketua DPD RI LaNyalla Mattalitti yang ditujukan kepada Senator Papua Barat, Filep Wamafma.
Saat ditanya wartawan pada Sabtu (3/8/2024) di Jakarta, soal ini umpatan tersebut, Filep menyinggung soal permintaan maaf LaNyalla.
“Sebagai manusia beradab, ya saya maafkan. Tetapi apakah maaf menghapus perbuatan materil yang menyebut saya ‘pengacau’, apalagi dalam forum Parlemen yang terhormat? Tentu tidak begitu logika hukumnya,” kata dia lagi.
Filep mengatakan, kata ‘pengacau’ itu memang jenisnya penghinaan ringan, sebagaimana Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Ini delik aduan, dimana tuntutan bisa dilakukan jika saya menyampaikan aduan ini kepada Polisi. Jadi, saya bisa saja mengadukan saudara La Nyalla,” ujarnya.
Lebih lanjut, ketika ditanya apakah permintaan maaf menghapus pidana yang dimaksud, Senator asal Papua yang akrab disapa Pace Jas Merah ini menegaskan, prinsip dalam hukum pidana menyatakan bahwa kata ‘maaf’ tidak menghapus pidana.
“Yang menjadi alasan penghapus pidana itu ada dua, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf,” sebut dia.
Alasan pembenar berarti bahwa perbuatan itu dilarang, tetapi dapat dibenarkan atas kondisi tertentu, misalnya dalam Pasal 50 KUHP terkait orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan UU, daya paksa (Pasal 48 KUHP), pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat 1 KUHP), perintah jabatan yang sah (Pasal 51 KUHP).
“Alasan pembenar membuat sifat melawan hukum tindak pidana terhapus. Sedangkan, alasan pemaaf misalnya ada dalam Pasal 44 KUHP yaitu pelaku tidak mampu bertanggung jawab. Jadi, secara hukum positif, tidak ada hukum yang menyatakan bahwa maaf bisa menghilangkan pidananya,” tegasnya.
Menurutnya, ada yang bilang bahwa maaf menjadi bagian dari restorative justice. Tetapi kalau semua pidana berakhir maaf, keadilan justru akan semakin terkoyak.
“Anda bisa bayangkan betapa saya terhina disebut ‘pengacau’ di depan Sidang Paripurna Parlemen. Konteks ini biar clear supaya orang-orang yang memelintir fakta-fakta hukum, harus lebih banyak belajar hukum lagi. Dan jangan lupa, saya bisa saja meminta ganti rugi materil melalui gugatan perdata yaitu perbuatan melawan hukum dengan bukti putusan pidana inkracht sesuai Pasal 1372 KUHPer yaitu bahwa tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik,” demikian Filep. ***