Minggu, 19 Januari, 2025
spot_img
More

    Berita Terkini

    Menengok Sejarah Politik ‘Devide et Impera’ dari Kolonialis Hingga Hambatan Kemerdekaan Bangsa

    Oleh: Agus Widjadjanto (Praktisi Hukum/Pemerhati masalah Sosial, Politik, Budaya dan Sejarah)

    MINIMNYA pendidikan sejarah bangsa yang diajarkan kepada generasi muda saat ini menjadi perhatian serius. Sejarah seharusnya menjadi pelajaran penting agar generasi penerus dapat memahami, belajar, dan mencegah pengulangan sejarah kelam di masa depan.

    Sejak tahun 1800-an hingga 1942, sebelum kedatangan Jepang, tidak seluruh wilayah Indonesia dikuasai oleh Belanda. Ada periode tertentu ketika Indonesia dikuasai oleh Perancis, yang membawa semangat Revolusi Perancis ke wilayah Hindia Belanda. Selanjutnya, kekuasaan berpindah ke Inggris sebelum akhirnya kembali ke Belanda.

    Herman Willem Daendels, meskipun orang Belanda, merupakan bagian dari militer Perancis di bawah Napoleon Bonaparte. Daendels ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh adik Napoleon. Pada masa pemerintahannya, ia memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer hingga Panarukan, yang dibangun melalui kerja paksa. Proyek ini memakan banyak korban jiwa.

    Pada 1811, Daendels digantikan oleh Thomas Stamford Raffles setelah Inggris memenangkan beberapa pertempuran. Raffles membawa reformasi besar, seperti membagi Jawa menjadi 18 karesidenan, membangun pusat pemerintahan di Bogor, dan menerapkan sistem peradilan juri sesuai hukum Inggris yang beraliran Anglo-Saxon.

    Devide et Impera dan Dampaknya

    Selama masa penjajahan, politik ‘devide et impera’ atau pecah belah dan kuasai, menjadi strategi utama kolonial untuk melemahkan kesatuan bangsa. Contohnya, pada masa Raffles, terjadi ‘Geger Sepoy’ di Yogyakarta, ketika tentara Inggris (dibantu tentara Sepoy dari India dan pasukan Mangkunegaran) menyerang Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Serangan ini menghancurkan keraton dan menewaskan banyak tokoh penting, termasuk Panglima KRT Sumodiningrat.

    Politik adu domba ini menyebabkan lemahnya rasa persatuan di antara rakyat Indonesia. Kesadaran untuk bersatu baru muncul pada awal abad ke-20, yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo (1908) dan Sumpah Pemuda (1928).

    Refleksi Hukum dan Transplantasi Sistem Juri

    Sejarah mencatat, pada masa kolonial Inggris, sistem peradilan juri pernah diterapkan di Indonesia. Dalam sistem ini, hakim hanya memimpin sidang, sementara keputusan perkara diambil oleh juri yang dipilih secara acak. Sistem ini bertujuan untuk mencari keadilan yang objektif.

    Dalam konteks penegakan hukum di Indonesia saat ini, praktik peradilan sering kali diwarnai oleh korupsi dan mafia hukum. Oleh karena itu, penulis mengusulkan adopsi sistem peradilan juri melalui pendekatan law transplant (transplantasi hukum). Sistem ini memungkinkan Indonesia, yang menganut sistem hukum kontinental Eropa, untuk mengadopsi praktik dari sistem hukum Anglo-Saxon.

    Dengan sistem juri, peluang terjadinya mafia peradilan dapat diminimalkan. Hakim akan bersifat pasif, sementara keputusan berada di tangan juri yang mewakili rasa keadilan masyarakat. Langkah ini dapat menjadi solusi progresif untuk mengembalikan hukum sebagai panglima di negeri ini.

    Penutup

    Sejarah menunjukkan bahwa perjuangan Indonesia untuk merdeka tidak hanya melawan penjajah, tetapi juga melawan kelemahan persatuan dan sistem yang diwariskan. Kini, tantangan serupa ada di bidang hukum. Diperlukan reformasi hukum yang berani dan inovatif agar keadilan benar-benar dapat diwujudkan bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Merdeka…! ***

    Berita Terkini

    spot_imgspot_img

    Jangan Terlewatkan

    Tetap Terhubung

    Untuk mendapatkan informasi terkini tentang berita, penawaran, dan pengumuman khusus