Ketua MPR ke-15 dan Ketua DPR ke-20 Ini Paparkan Pentingnya Revitalisasi Tap MPR untuk Menjawab Tantangan Nasional
JAKARTA, PARLE.CO.ID — Anggota Komisi III DPR sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo (Bamsoet), meraih predikat ‘Mahasiswa Berprestasi dalam Kancah Politik Nasional’ dari Program Pascasarjana Universitas Jayabaya. Penghargaan ini diserahkan bertepatan dengan pengumuman kelulusan (yudisium) program Pascasarjana Universitas Jayabaya, Jakarta, pada Jumat (7/3/2025).
Bamsoet menyelesaikan studinya dengan mengangkat tesis berjudul “Revitalisasi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Bagian Dinamika Struktur Hukum dan Politik Hukum di Indonesia”.
Revitalisasi Tap MPR untuk Tantangan Nasional
Dalam tesisnya, Bamsoet menjelaskan bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) merupakan salah satu pilar penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebagai lembaga tertinggi negara pada era Orde Baru, MPR memiliki wewenang untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN) dan mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang bersifat mengikat. Namun, pascareformasi 1998, peran MPR mengalami perubahan signifikan seiring dengan amendemen UUD 1945 yang membatasi kewenangannya.
“Revitalisasi Tap MPR merupakan langkah penting dalam memperkuat dinamika struktur hukum dan politik hukum di Indonesia. Dengan reinterpretasi, adaptasi, dan integrasi yang tepat, Tap MPR dapat tetap relevan sebagai panduan normatif dan instrumen dinamis dalam menghadapi tantangan zaman,” ujar Bamsoet usai mengikuti yudisium.
Perubahan Posisi Tap MPR Pascareformasi
Bamsoet memaparkan bahwa pada masa Orde Baru, MPR merupakan lembaga tertinggi negara dengan kewenangan luas, termasuk menetapkan GBHN melalui Tap MPR. Namun, setelah reformasi 1998, MPR berubah menjadi lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga negara lainnya. Kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN dihapuskan, dan Tap MPR yang dikeluarkan hanya bersifat penetapan (beschikking).
“Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menempatkan Tap MPR di bawah UUD 1945, dan di atas undang-undang serta peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Namun, MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menerbitkan Tap MPR baru yang bersifat mengatur (regeling),” jelas Bamsoet.
Pentingnya Keseimbangan dalam Revitalisasi
Bamsoet menekankan bahwa revitalisasi Tap MPR harus menyeimbangkan antara kebutuhan panduan pembangunan jangka panjang dan prinsip-prinsip demokrasi serta pemisahan kekuasaan. Di satu sisi, adanya panduan seperti GBHN dapat memastikan kesinambungan dan konsistensi kebijakan pembangunan nasional. Di sisi lain, perlu diperhatikan agar tidak terjadi sentralisasi kekuasaan yang dapat mengancam demokrasi.
“Proses revitalisasi ini memerlukan pendekatan yang hati-hati dan partisipatif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa perubahan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tetap menjaga prinsip-prinsip demokrasi,” papar Bamsoet.
Potensi Tap MPR dalam Sistem Hukum Indonesia
Bamsoet menegaskan bahwa Tap MPR masih memiliki potensi untuk berperan dalam sistem hukum Indonesia, terutama dalam mengisi celah-celah normatif yang tidak diatur oleh konstitusi maupun undang-undang. Namun, untuk menjaga relevansi Tap MPR, diperlukan penguatan peran legislatif dan kehati-hatian dalam penetapannya agar tidak tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. (P-01)