JAKARTA, PARLE.CO.ID – Perang tarif antara Amerika Serikat atau AS dengan Kanada, Meksiko dan China, diyakini tidak akan berpengaruh secara langsung kepada Indonesia. Pasalnya, perekonimian Indonesia, tidak lagsung berhubungan dengan negeri ‘Paman Sam’, julukan AS tersebut.
Keyakinan ini disampaikan Ketua Koordinator Bidang Ekonomi DPP Partai Gelora Indonesia Dr. Bramastyo B. Prastowo dalam Gelora Talks bertajuk “Perang Tarif Amerika Vs Kanada, Ada Apa?”, dikutip Kamis (6/2/2025).
Menurut Bramastyo, jika melihat data ekspor-impor Indonesia, perekonomian Indonesia tidak langsung berhubungan dengan Amerika. Ia mengungkapkan, data ekspor-impor Indonesia ke AS sangat kecil, tidak sampai satu persen, sekitar 0,8-0,9 persen saja.
“Sementara perdagangan AS dengan Kanada, Meksiko dan China mencapai 40 persen. Makanya Trump sengaja menerapkan tarif tinggi ke Kanada, Meksiko dan China sebagai langkah strategis untuk bisa mendapatkan langsung dana segar dari penganaan tarif ini,” sebutnya.
Dosen Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun, Bogor ini mengatakan, Trump ingin mendapatkan pajak yang tinggi dari ini melalui pengenaan tarif ekspor barang luar negeri yang masuk ke AS.
“Jadi bagi Trump ini seperti percaturan, sehingga membuat orang menjadi berpikir ulang atau sedikit pusing untuk ekspor ke Amerika,” kata Bramastyo lagi.
Meski tidak ada dampak secara langsung dari perang tarif ini, namun situasi tersebut, menurut Ekonom Terapan dan Antropolog ini, bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke Kanada, Meksiko dan China.
“Tentunya kita berharap ada perbaikan proses tata kelola perdagangan Indonesia dengan negara tersebut. Jadi ketika perdagangan dengan Amerika tidak banyak, maka Indonesia bisa menambah peluang perdagangan dengan Kanada, Meksko dan China. Ekspor-impor kita harus ditingkatkan,” tegasnya.
Perang Strategi, Bukan Perang Tarif
Sedangkan Pakar Politik Luar Negeri dan Keamanan Pitan Deslani mengatakan bahwa perang tarif antara AS dengan Kanada, Meksiko dan China, sebenarnya bukan perang tarif, melainkan perang strategi yang dilakukan Presiden Donald Trump.
“Jadi yang terjadi, ini bukan perang tarif, tapi perang strategi. Melibatkan semua perdagangannya, militernya, strategi geopolitiknya semua terlibat,” kata Pitan.
Hal itu dilakukan Trump, karena ekonomi AS dalam situasi tekanan yang sangat berat, dan hutang negeri Paman Sam pada 2025 sudah mencapai sekitar 36,2 Triliun dollar AS.
“Jadi Presiden Trump ini berada dalam satu masa dimana tekanan ekonomi dalam negerinya sangat berat. Makanya dia mau mengambil Kanada jadi provinsi ke-51 dan mengambil alih Greenland (Denmark) dengan menambah kekuatan alutsistanya di sana,” ujarnya.
Hutang AS itu, masih kata Pitan, dilakukan para investor mereka ke negara lain, dimana hutang terbesar pengusaha Amerika ke Jepang mencapai 1 Triliun dollar AS.
“Lalu, dengan hutang yang besar itu, dibayarnya pakai apa? Tentu dia berharap dari pajak, pajak tarif. Lalu, penjualan senjata berat ditingkatkan, mencari sumber daya di negara lain. Kalau elektronik sudah diambil China dan Taiwan, maka target terbesarnya dari situ, dari pajak,” katanya.
Menurut Pitan, volume perdagangan terbesar AS, sebenarnya bukan Kanada, tetapi dengan Meksiko. Baru setelah itu dengan Kanada, China, Jepang dan Jerman.
“Jadi kepentingan Amerika kepada Meksiko, karena 50 persen pusat penyulingan minyak Amerika _offshore,_97 persen berada di Teluk Meksiko. Kepentingan dia besar, sekali disitu,” jelasnya.
Selain soal minyak dan kekayaan lainnya di Teluk Meksiko, Trump juga punya kepentingan untuk mencegah imigran ilegal dari Meksiko masuk ke AS.
“Pendatang yang tidak terdaftar atau ilegal, masuk Amerika mencapai 11 juta orang, 50 persennya berasal dari Meksiko. Trump mecurigai, imigran dari Meksiko ini membawa fentanyl, semacam narkoba sintetis yang kadarnya setarus kali lebih kuat dari morfin dan heroin,” ungkapnya.
Sehingga Trump tidak ingin generasi Amerika hancur dan ditemukan teler di jalanan. Makanya, Trump marah besar kepada Presiden Meksiko Claudia Sheinbaum yang mengijinkan orang-orangnya masuk ke Amerika membawa fentanyl.
“Trump kasih waktu sebulan ke Meksiko seperti ke Kanada, menunda pengenaan tarif 25 persen, apakah masih banyak orang-orang Meksiko yang masuk membawa fentanyl ke Amerika,” katanya.
Karena itu, kebijakan Presiden Trump sebenarnya tidak terkait dengan perang dagang, termasuk dengan China, karena yang terjadi adalah perang strategi geopolitik global.
“Kenapa Kanada marah besar kepada Amerika, karena sudah dibantu waktu Badai Katrina dan kebakaran dua kali di Los Angles mati-matian, malah mau dimasukkan jadi bagi provinsi Amerika,” pungkas Pitan. ***