Ilustrasi

Politik Hukum Brawijaya Kertawijaya Kertabumi V dalam Memberikan Andil Terbangunnya Peradaban Islam di Nusantara

Komentar
X
Bagikan
Agus Widjajanto. (Ist)

Oleh: Agus Widjajanto*

JANGAN sekali kali melupakan sejarah (Jas Merah), apa yang selalu digaungkan oleh Bapak pendiri bangsa kita Bung Karno, dimana dengan mempelajari sejarah bisa mengambil pengalaman dari kejadian-kejadian masa lalu yang bisa kita jadikan pedoman dan pengalaman dalam mengambil sebuah keputusan penting dalam sebuah Negara oleh para pemimpin bangsa. Kadang kita dininabobokan dengan suatu kisah atau sejarah yang sebetulnya telah dibelokan dan dimanipulasi oleh bangsa lain atau keturunan golongan tertentu, demi kepentingan politiknya yang ujung-ujungnya adalah agar dapat eksis dalam kekuasaan, dengan cara menghancurkan serajah dari bangsa tersebut agar tidak lagi mengerti atas sejarah leluhurnya. Ini sudah terjadi menjadi fenomena terkini, dalam kasus pendapat penelitian dari KH. Immanudin soal Ba’alawi dari Yaman di Indonesia, yang selalu mengklaim sebagai keturunan Rosullullah, yang pernyataan-pernyataannya sangat merendahkan kaum Bumiputera, masyarakat asli, yang leluhurnya telah berjuang dan bersusah payah mendirikan bangsa dan negara ini, baik dengan darah, air mata, dan materi yang tidak terhingga.

Untuk memberikan gambaran yang jelas, mengapa seorang Sunan (dari kata sesuhunan dalam bahasa Jawa yang artinya ketua agama atau Raja merangkap kepala agama) Ampel, Raden Rahmat di Ampel Denta Surabaya, bisa membangun peradapan baru bercorak Islam di tanah Jawa. dalam kekuasaan sebuah Negara/Kerajaan besar yang bernama Majapahit yang bercorak Hindu Budha, yang mana secara berabad-abad sejak abad ke tujuh Masehi, abad ke sembilan Masehi, hingga abad ke 12 Masehi, mengalami kegagalan tidak mampu masuk dan berkembang di tanah Jawa, yang saat itu mempunyai kebudayaan adi luhung sangat maju, dimana belahan dunia lain masih primitif belum berbudaya di Jawa sudah kampiun kebudayaannya, bisa ditelusuri dari sejarah lahir dan berasal dari mana serta keturunan siapa Sunan Ampel tersebut untuk bisa melihat berbagai sudut pandang atas pertanyaan diatas.

Raden Rahmat atau Sunan Ampel lahir di Campha, sebuah wilayah kerajaan di Vietnam bagian Selatan, yang berbatasan dengan Kamboja, pada tahun 1401 Masehi. Bersama kakek dan bapak serta ibundanya, Raden Rahmat pergi berlayar dari Champa ke Jawa, untuk mencari silsilah keturunan nenek buyutnya yang berasal dari Jawa, sekaligus ingin menyebarkan agama diwilayah yang menurut catatan sejarah dikaruniai tanah yang subur dan makmur. Setalah tujuh tahun mendaratnya Panglima Angkatan Laut Tiongkok, yaitu Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming di Semarang pada tahun 1405 Masehi, maka Raden Rahmat Sunan Ampel bersama kakeknya, ayah ibunya mendarat di Lasem-Jawa Tengah, dimana ibundanya meninggal karena sakit dan dimakamkan di atas bukit yang dikenal dengan nama putri Campa.

Dari keturunan Rosullullah Nabi Muhammad SAW, Raden Rahmat adalah putra dari Sayyid Ibrahim Asmaraqondi yang meninggal juga karena sakit di Desa Palang Tuban-Jawa Timur. Sedang Ibrahim Asmaraqondi anak dari Sayyid Jumadil Kubro , apabila diurut lagi keatas syech Jumadil Kubro anak dari Sayyid Mahmud, yang punya ayah Sayyid Zainul Ichshan, sedang Sayyid Zainul Ichshan anak dari Sayyid Zainul Abidin dan perlu diterangkan disini, Sayyid Zainul Abidin inilah satu satunya keturunan Rosullullah yang pada saat itu sedang sakit dan masih berumur 7 tahun, saat peristiwa pembunuhan di kota Karbala Irak , yang dikenal dan diperingati sebagai hari Azzura ( yang oleh orang Jawa karena lidah nya beda lafal menjadi bulan Suro )., yang diselamatkan oleh salah seorang pengawal bapaknya, ke jalan Jalur Sutera, dari Irak hingga India, hingga tiba menetap di Kota Sanarkhan di Uzbekistan. Dan Sayyid Zainul Abidin ini adalah putra dari Sayidina Husain yang mempunyai ibu Fatimah Az-Zahra, yang merupakan putri dari Rosullullah, Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan dari jalur ibu, Sunan Ampel Raden Rahmat adalah keturunan dari Raja Kerajaan Champa, yaitu Raja Che Bong Nga pemeluk Islam yang memerintah pada tahun 1360 hingga 1390, yang mana sebelum Islam datang dari wilayah Usbekhistan, Kerajaan Champa adalah kerajaan yang bercorak dan beragama resmi Hindu Budha. Saat masih bercorak Hindu Budha, kerajaan Champa adalah bawahan dan masih dalam pengaruh kekuasaan Kerajaan Singosari dengan Rajanya yang bernama Kertanegara, dalam ambisinya melakukan ekspansi kekuasaan untuk menyatukan Nusantara saat itu disamping melakukan ekspedisi Pamalayu di Semenanjung Malaka, juga Raja Kertanegara mengirim adik kandungnya untuk dijadikan istri dari Raja Singawarman ke 3, yaitu Ratu Tapasi yang merupakan Ratu dari Kerajaan Singosari, dari keturunan Raja Singawarman dan Ratu Tapasi ini melahirkan keturunan, keturunan hingga ibunda nya sunan Ampel atau Raden Rahmat.

Ekspedisi dan Penyebaran Agama

Berdasarkan catatan Ma Huan juru tulis Panglima Ceng Ho, yang datang ke Jawa pertama pada tahun 1405 mendarat di Cirebon dan dilanjutkan kedatangan-kedatangan selanjutnya dalam rangka ekspedisi budaya dan penyebaran agama oleh Dinasti Ming saat itu, yang mempunyai pangkalan militer di Pelabuhan Campha, dalam kekuasaan Dinasti Ming setelah runtuhnya Kerajaan Singosari, dan meredupnya kekuasaan Majapahit akibat perang Paregrek bahwa di Pesisir Pulau Jawa sudah ada dan dihuni oleh orang-orang China yang beragama Islam, dimana Ma Hua menulis pada kedatangan Panglima Ceng Ho yang terakhir pada tahun 1433 Masehi.

Sunan Ampel sendiri mendarat di Pulau Jawa pada tahun 1440 bersama ayahandanya Syech Ibrahim Asmarakhandi (atau Ibrahim dari Samarkhan), yang sejarah nazab keturunannya tertulis dalam manuskrip Kerajaan Campha dan dalam Pararathon serta Babat Tanah Jawi, dimana saat Raden Kertanegara berkuasa dan melakukan inspeksi wilayah baik pada Semenanjung Melayu dengan Ekspedisi Pamalayunya yang dilakukan oleh Laksamana Aditya Warman dan Raden Wijaya Kertarajasa sebagai menantu beliau saat itu, juga merangkul Kerajaan Champa dalam perkawinan politik dengan cara mengawinkan adik kandungnya Prabu Kertanegara, yakni Ratu Pakasi kepada Raja Champa Jaya Sungawarman ke tiga, dan beranak pinak yang selanjutnya cucunya dari Ratu Pakasi Singosari ini ada yang kawin dengan keturunan Ulama Usbekistan, yakni Abu Ibrohim yang melahirkan tiga orang putra dan putri yakni, Dwarawati yang dikawin oleh Raja Kertawijaya/Brawijaya V Majapahit, dan yang kedua Condrowulan dikawin oleh Syech Ibrohim Samarkhan melahirkan Raden Rahmat Sunan Ampel.

Pada saat Raden Rahmat Sunan Ampel saat itu datang ke Majapahit yang kebetulan tante beliau adalah istri permaisuri dari Raja Brawijaya Kertabumi ke 5 dari Majapahit, yaitu Ratu Dwarawati yang merupakan juga putri persembahan dari Kerajaan Campha, oleh Raja Brawijaya Kertabumi ke 5 dianggap bahwa Raden Rahmat adalah masih keluarga Kerajaan Majapahit, disamping keponakan istri raja, yaitu Ratu Dwarawati, juga masih keturunan dan darah dari Kerajaan Singosari, yaitu dari Ratu Tapasi adik kandung dari Raja Kertanegara (KH, Agus Sunyoto). Disinilah dimulainya terjadi membangun peradaban baru di Jawa dan Nusantara.

Disinilah sebetulnya adanya keputusan politik hukum dari Raja Brawijaya V Kertabumi atau Prabu Kertawijaya, Raja Majapahit bahwa mengapa Raden Rahmat diberikan tanah di Ampel Denta (yang sekarang di Masjid Agung Ampel Surabaya) untuk mendirikan Pondok Pesantren dan Masjid dan diijinkan melakukan penyebaran agama pada saat itu, karena faktor kedekatan yang dianggap keluarga raja, dari Kerajaan Majapahit. Maka, tidak heran apabila dalam literatur sejarah berdirinya Masjid Demak dan penyerbuan pada Keraton Majapahit saat itu oleh Demak, posisi Sunan Ampel Raden Rahmat sudah tiada atau wafat. Mengapa? Karena memang masih kerabat Raja Brawijaya Kertabumi dan keponakan dari permaisuri Ratu Dwarawati.

Dari sinilah Islam bisa masuk ke pusat pemerintahan dan daerah pinggiran Surabaya, Gresik saat itu untuk membentuk sebuah peradapan baru dan dilanjutkan oleh anak-anak beliau dan murid dari beliau, yaitu Sunan Bonang dan Sunan Drajat serta Sunan Giri, yang masih keturunan Kerajaan Belambangan di Banyuwangi, yang juga merupakan keturunan dan darah dari Ratu Tapasi adik dari Raja Kertanegara. Dan terus berkembang melalui generasi ketiga yaitu, Sunan Kali Jaga Raden Sahid anak dari Adipati Tuban Wilatikta, dan terus hingga dilanjutkan pada generasi keempat dan kelima, sebagai bagian yang tidak terpisahkan antara wali pada generasi pertama yaitu Sunan Ampel, hingga generasi kedua, anak-anak beliau, ke generasi ketiga, keempat dan kelima, selalu dengan cara membumi, mengandeng adat istiadat setempat dalam kelakukan dakwah dan tata cara seremonial keagamaan, hingga melakukan pengajaran tasawuf yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Hindu Budha. Dan disinilah terletak kehebatan pola pikir para wali jaman itu yang pola pikir wawasanya bisa menjangkau jaman hingga ke generasi milenial pada abad ke 21 ini.

Disinilah kita harusnya malu dan belajar atas sifat kenegarawanan dan sifat ke-Brahmanawan dari para wali-wali tersebut yang dikenal dengan nama Wali Songo atau Sembilan Wali, walau sebetulnya terdiri dari lintas generasi. Dan keturunan-keturunan dari para Wali Songo tersebut berasimilasi dan berbaur dengan masyarakat yang cicit-cicitnya mendirikan pondok-pondok Pesantren di Jawa Timur maupun Jawa Tengah dan Jawa Barat. Jadi, jangan sekali-kali melupakan sejarah bangsamu (Jas Merah) agar kita semua bisa belajar dan bangga atas sejarah Nenek Moyang kita, sebagai bangsa yang agung dan berbudaya tinggi! ***

* Penulis adalah Praktisi Hukum, Pemerhati Politik, Budaya dan Sejarah

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *